
PWMU.CO -Jangan jadikan masjid sebagai alat untuk menindas dan menghalalkan segala cara. Demikian pesan Khalifah Umar bin Khattab r.a. kepada para pengelola masjid.
***
Gubernur Mesir, Amr bin Ash, di kenal sebagai sosok yang inovatif dan cerdik. Suatu ketika, ia berencana merenovasi masjid yang sudah tidak layak lagi menampung jamaah. Masjid itu juga sudah tua, dengan beberapa tembok yang mulai kumal akibat lumut, atap yang lapuk, dan lantai yang remuk termakan usia.
Renovasi terhambat karena seorang Yahudi pemilik tanah di sebelah masjid menolak menjual tanah dan gubug reyotnya untuk perluasan masjid. Meski sudah di tawar dengan harga yang tinggi, Yahudi tersebut tetap menolak untuk pindah atau menjual tanah dan gubugnya.
Gubernur Amr bin Ash yang di kenal ulet tak patah semangat. Tanah tersebut akhirnya digusur paksa setelah diberi harga yang pantas. Namun, si Yahudi tersebut tak terima dan mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Setelah menempuh perjalanan hampir dua bulan, dia sampai di Madinah dan melaporkan kebijakan Amr bin Ash yang memaksa membeli tanahnya.
Khalifah Umar, yang sederhana dengan pakaian biasa, menemui orang Yahudi itu di serambi masjid. Setelah mendengar laporan tersebut, Umar bin Khattab mengambil tulang sekerat, lalu membuat garis dan beberapa tanda dengan pedangnya. Ia memerintahkan agar si Yahudi tersebut memberikan tulang itu kepada Amr bin Ash.
Singkat cerita, Amr bin Ash yang gemetar akhirnya memerintahkan untuk mengembalikan tanah dan gubug milik Yahudi tersebut. Dari kejadian itu, Amr bin Ash belajar untuk tidak semena-mena terhadap orang kecil dan justru harus melindungi hak mereka.
Pesan yang ingin disampaikan oleh Khalifah Umar sangat jelas: agar para pemimpin tidak bertindak sewenang-wenang dan selalu menjaga hak-hak rakyat. Akhirnya, si Yahudi memberikan tanah beserta gubugnya untuk perluasan masjid tanpa perlu dibeli.
Khalifah Umar yang bijaksana, Gubernur Amr bin Ash yang terbuka untuk menerima kritik, dan si Yahudi yang baik hati, semuanya memiliki kesalehan yang menjadi pilar kekhilafahan.
Namun, meskipun kisah ini penuh hikmah, ini tidak menggambarkan “kesalehan sistem”. Sebab, pada akhirnya, Khalifah Umar bin Khattab pun harus roboh ditikam oleh seorang budak saat ia menjadi imam shalat. Khalifah Utsman bin Affan mati di tangan para pemberontak. Bahkan Khalifah Ali bin Abi Thalib, meski berhasil meredakan pertempuran, harus kalah dalam perundingan penuh muslihat.
Khalifah Umar bin Khattab, sang Khalifah, juga tidak mampu bertahan dan akhirnya tunduk pada takdir kekuasaan yang penuh dengan kekerasan. Tidak ada sistem suksesi yang dapat menjadi teladani dari masa pemerintahannya. Bahkan pergantian khalifah yang terjadi setelah Umar meninggal hanya menunjuk sejumlah sahabat seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubadillah, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqash untuk bermusyawarah menentukan penggantinya.
Khilafah tetaplah sebuah misteri, yang lahir dari produk sosial pada masanya. Hanya kesalehan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali yang menjadi teladan. Sedangkan sistem khilafah itu sendiri, pada akhirnya, bukanlah sistem yang dapat menjadi sandaran. Sebab, khilafah hanyalah sistem politik yang bergantung pada siapa yang memegang kekuasaan. Wallahualam. (*)
Editor Notonegoro