PWMU.CO – Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat—selanjutnya disebut Amerika—berkembang menjadi negara adidaya. Bom nuklir yang meluluhlantakkan Hirosima dan Nagasaki tidak hanya mengakhiri perang yang mengakibatkan lebih dari 60 juta korban jiwa tersebut, namun juga menandai era dominasi Negeri Paman Sam atas negara-negara lain. Apalagi dengan kemenangannya dalam Perang Dingin, Amerika semakin merajai pentas dunia. Namun perkembangan situasi global menunjukkan tren sebaliknya dewasa ini, Amerika mengalami penurunan tajam dalam banyak bidang. Bahkan banyak pengamat memprediksi Amerika telah masuk pada periode kehancurannya.
“Amerika tidak akan hancur karena ekonomi, militer, apalagi politik. (Tapi) Amerika akan hancur karena moralitas,” kata Muhammad Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation di hadapan ratusan peserta Peringatan Milad Muhammadiyah ke-108 Hijriyah/105 Masehi di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu (11/11/17).
Pernyataan Shamsi Ali ini menjawab pertanyaan salah satu peserta terkait prediksi kejatuhan Amerika.
Secara statistik, dalam bidang ekonomi, militer, dan politik Amerika memang mengalami penurunan signifikan. Misalnya saja dalam bidang ekonomi, sumbangan Gross Domestic Product (GDP) Amerika semakin turun dan diprediksi IMF pada tahun 2021 tinggal 14,36 persen, kalau jauh dengan China dengan estimasi 20,01 persen. Bahkan negara Emerging Market (pasar berkembang) seperti China, India, dan Indonesia malah yang diprediksi terus menguat.
Di sisi lain, fundamental ekonomi pasar bebas kapitalistik dan hutang luar negeri yang makin besar juga makin memperparah kesulitan finansial Amerika.
Namun Shamsi Ali menolak prediksi kejatuhan dari bidang ekonomi tersebut. “(Tidak), Amerika masih kaya. Masih sangat kaya,” ujarnya. Hal senada pernah disampaikan Amien Rais dalam sebuah kesempatan soal Subprime Mortgage Cricis yang melanda Amerika tahun 2008 yang berdampak pada perlambatan ekonomi global waktu itu—hingga saat ini di beberapa tempat.
“Krisis ekonomi itu hanya menggeser Amerika dari negara ‘sangat kaya’ menjadi ‘negara kaya’,” seloroh Amien.
Begitu pula dalam bidang politik. Meski terpilihnya Donald Trump menjadikan situasi perpolitikan Amerika memanas, namun kekuatan politik di republik yang terdiri dari 50 negara bagian ini menurut Shamsi Ali cukup stabil karena pengalaman demokrasi mereka. “Jika saja politik Amerika tidak kuat, maka Donald Trump sekarang mungkin sudah menjadi diktator. Namun faktanya Trump masih bisa dikontrol dengan undang-undang,” terang pria yang pernah belajar di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul-Arqam Makasar ini.
Di sektor militer, meski pada era kepemimpinan Barack Obama anggaran pertahanan mengalami pemangkasan signifikan, namun akumulasi kekuatan militer Amerika masih terbesar di dunia. Catatan David Vine dalam Base Nation: How US Military Base Abroad Harm America and the World (2015), AS tercatat memiliki 686 pangkalan militer di luar 50 negara bagian AS. Dan agaknya, menilik sejarah dominasi Amerika atas dunia yang dimulai dari kemenangannya dari peperangan, akan sulit melihat Amerika jatuh sebab militer. Bahkan pemerintahan Trump kini menaikkan kembali anggaran pertahanan AS.
Maka bukan karena pelemahan ekonomi, politik, maupun militer. Menurut Shamsi Ali yang pernah meraih penghargaan Ellis Island Medal of Honor dan tokoh agama paling berpengaruh versi New York Magazine ini, Amerika sangat mungkin jatuh karena degradasi moral. Prediksi ini pun pernah dilontarkan Igor Panarin, akademisi Rusia yang menyatakan Amerika Serikat akan terpecah menjadi banyak negara sebagaimana nasib Soviet pada akhir tahun 1991.
Terlepas dari subyektifitas dan perseteruan klasik Rusia-AS, prediksi Panarin cukup beralasan. Kini kita melihat makin tingginya frekuensi kriminalitas di Amerika, seperti penembakan di sekolah atau ruang publik lain, kepadatan populasi narapidana di penjara-penjara, serta perkembangan homoseksualitas.
“Bayangkan, dari 50 negara bagian 20 diantaranya kini telah melegalkan perkawinan sejenis,” tegas Syamsi Ali. Moralitas masyarakat yang makin rusak itulah yang kini menjadi salah satu tantangan dakwah pria kelahiran Bulukumba Sulsel ini. Melalui Nusantara Foundation, mantan Imam Besar Masjid Islamic Center New York ini aktif menyebarkan nilai-nilai Islam. “Diantaranya kami aktif mempresentasikan ajaran Islam kepada mahasiswa-mahasiswa, bahkan di perguruan tinggi yang dikenal cukup keras dengan Islam,” terangnya.
Selain itu ia juga menggelar konferensi zakat Internasional, serta menjalin kemitraan dengan kelompok Yahudi di Amerika. “Terpilihnya Trump, terus terang menjadikan pemeluk Yahudi sebagai kelompok paling terancam. Dan ini membuat mereka malah mendukung kelompok muslim seperti saat demonstrasi ‘Today I’m Moslem Too’ terkait Islamofobia yang kami adakan di New York,” ujarnya. Dukungan dari kelompok Yahudi diperolehnya berawal dari diskusi bersama Rabi Marc Schneier yang dilanjutnya penulisan buku bersama yang berjudul Sons of Abraham: A Candid Conversation about the Issues That Divide and Unite Jews and Muslims.
Menurutnya, jika Islam bisa menjadi solusi bagi krisis Amerika itu akan lebih baik bagi dunia Islam daripada berharap Amerika hancur tanpa diselamatkan. “Kami sangat berkepentingan menyelamatkan Amerika, dengan cara menghadirkan Islam,” katanya dengan berapi-api dan penuh keyakinan. (faizin)
Discussion about this post