
PWMU.CO – Hari Raya Idul Fitri tahun ini menjadi momen istimewa bagi komunitas Muslim di Budapest, Hongaria. Meskipun berstatus sebagai minoritas, umat Islam di ibu kota negeri Danube ini tetap menjalankan ibadah Ramadan dan merayakan Idul Fitri dengan penuh suka cita. Masjid-masjid komunitas yang didirikan oleh Muslim dari Turki dan negara-negara Islam lainnya menjadi pusat kegiatan keagamaan serta tempat berkumpulnya para perantau untuk mempererat kebersamaan.
Bagi banyak Muslim di Budapest, Ramadan bukan hanya bulan ibadah, tetapi juga ujian dalam mempertahankan identitas keislaman di negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim. Dengan durasi puasa yang mencapai sekitar 16 jam sehari, tantangan semakin terasa. Namun, semangat beribadah tetap terjaga berkat dukungan komunitas Muslim yang aktif mengadakan iftar bersama, tarawih berjamaah, dan kajian keislaman.
Salah satu pusat kegiatan Ramadan di Budapest adalah Masjid Darussalam. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi rumah kedua bagi Muslim dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, dan negara-negara Afrika.
Setiap malam selama Ramadan, ratusan jamaah berkumpul di masjid ini untuk berbuka puasa dan melaksanakan tarawih bersama. Saya sendiri beberapa kali mengikuti iftar di Masjid Darussalam karena lokasinya yang cukup dekat dengan kampus saya di Eotvos Lorand (ELTE) University. Di sana, saya melihat banyak mahasiswa dari Iran, Tunisia, Mesir, Aljazair, Pakistan, Turki, serta negara-negara Muslim lainnya yang turut serta dalam acara buka bersama dan menjalani i’tikaf di masjid tersebut.
Setiap masjid di Budapest memiliki keunikan tersendiri dalam menyelenggarakan acara buka puasa bersama. Hal ini dikarenakan masing-masing masjid mencerminkan asal negara komunitas yang mengelolanya. Misalnya, Masjid Turki dan Masjid At-Taqwa menjadi tempat berkumpulnya komunitas Muslim Turki di Budapest.
Saat buka puasa, masjid-masjid ini menyajikan hidangan khas Turki, seperti baklava, lokum, kunafa, serta seporsi besar nasi dan lauk ayam. Seorang teman saya bercanda, “Ini porsi benar-benar untuk mahasiswa!.” Meski demikian, masjid-masjid komunitas Muslim dari berbagai negara tetap terbuka untuk umum. Namun, setiap orang yang ingin ikut berbuka puasa di masjid perlu mengisi registrasi online terlebih dahulu, mengingat keterbatasan tempat dan hidangan.
Setelah berbuka dan melaksanakan shalat Maghrib, jamaah melanjutkan aktivitas dengan shalat Isya, mendengarkan ceramah yang kadang disampaikan dalam bahasa Arab, Turki, Inggris, atau Hongaria serta beritikaf di masjid hingga waktu shalat malam, sahur, dan shalat Shubuh berjamaah.
Setidaknya terdapat enam masjid di Budapest, yaitu Masjid Budapest (Islamic Center of Hungary), Masjid Al-Huda, Masjid At-Taqwa, Masjid Turki, Masjid Darussalam, dan Masjid Pascal. Salah satu masjid terbesar di antaranya adalah Masjid Budapest, yang sering dikunjungi oleh wisatawan Muslim yang sedang berkunjung ke Hungary dan ingin singgah untuk menunaikan shalat.
Dari luar, bangunan masjid ini lebih menyerupai apartemen (flat), seperti halnya banyak masjid di Eropa. Masjid-masjid tersebut umumnya tidak memiliki kubah, simbol bulan bintang, ataupun sistem pengeras suara di luar ruangan.
Di Budapest, keberadaan masjid-masjid komunitas berperan penting dalam menjaga identitas keislaman dan mempererat tali persaudaraan antarMuslim. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat pendidikan agama, diskusi, dan kegiatan sosial yang membantu Muslim minoritas merasa tetap memiliki tempat di tengah masyarakat dengan budaya dan keyakinan yang berbeda.
Berkat inisiatif komunitas Muslim dari Turki, Arab, dan berbagai negara Islam lainnya, Budapest kini memiliki beberapa masjid dan pusat Islam yang aktif menyelenggarakan kegiatan keagamaan sepanjang tahun. Kehadiran tempat-tempat ini memberikan kenyamanan bagi Muslim perantauan, termasuk mahasiswa internasional, sehingga mereka dapat menjalankan ibadah dan tradisi Islam dengan tenang.
Suasana Kebersamaan yang Semakin Hangat di Hari Raya
Di Budapest, shalat Idul Fitri diselenggarakan di beberapa masjid. Jamaah dari berbagai negara hadir dengan mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa keceriaan dan semangat kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Setelah shalat Idul Fitri, tradisi silaturahmi pun berlangsung, mempererat persaudaraan di antara sesama Muslim.
Para perantau yang jauh dari keluarga memanfaatkan momen ini untuk saling berkunjung, berbagi hidangan khas dari berbagai negara, dan menikmati kebersamaan dalam suasana yang penuh kehangatan. Komunitas Muslim Turki sering mengadakan acara makan bersama dengan menyajikan hidangan khas seperti baklava dan kebab, sementara Muslim dari Indonesia dan Malaysia kerap menyuguhkan lontong, rendang, serta kue-kue khas Lebaran.
Bagi saya, Idul Fitri tahun ini menjadi pengalaman pertama yang saya rasakan di Hongaria. Suasananya tentu berbeda dibandingkan dengan saat saya merayakannya di Indonesia. Saya dan sebagian besar WNI lainnya menunaikan shalat Idul Fitri di halaman kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Hongaria, yang berlokasi di Jalan Varosligeti Fasor 26 pada Minggu (30/3/2025).
Shalat Idul Fitri di KBRI Hongaria ini diikuti oleh lebih dari 700 WNI, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pekerja migran, serta beberapa warga lokal yang menikah dengan orang Indonesia. Shalat dimulai pukul 09.00 pagi, kemudian dilanjutkan dengan khutbah Hari Raya yang disampaikan oleh Ustadz Anis Kadir Sofyan.
Pada dasarnya, mahasiswa yang sedang menempuh studi di Budapest jarang memiliki kesempatan untuk bertemu dan mengobrol bersama. Kesibukan perkuliahan, tuntutan tugas akademik, serta sebagian dari mereka yang bekerja paruh waktu, membuat interaksi mereka terbatas. Maka dari itu, perayaan Lebaran menjadi momen berharga untuk bersilaturahmi, saling bertukar kabar, serta berbagi pengalaman seputar studi, proyek riset, penulisan jurnal, hingga informasi tentang konferensi internasional.
Beberapa teman yang lebih dulu menetap di Budapest juga mengadakan acara makan bersama di flat mereka dengan mengundang para mahasiswa lainnya.
Bagi kami, Lebaran bukan hanya tentang kembali ke fitrah, tetapi juga momen untuk mempererat ukhuwah Islamiyah di tengah kehidupan masyarakat yang cenderung individualis. Solidaritas yang terjalin di antara sesama mahasiswa membuktikan bahwa, meskipun jauh dari kampung halaman, persaudaraan sesama anak bangsa tetap terjaga dengan baik.
Merayakan Idul Fitri sebagai Muslim minoritas memang memiliki tantangan tersendiri. Namun, justru di situlah nilai kebersamaan dan keimanan semakin terasa. Dengan semangat persaudaraan yang terus terjaga, Muslim di Budapest tetap dapat merayakan hari kemenangan dengan penuh kebahagiaan, meskipun jauh dari tanah air.
Penulis Nafik Muthohirin Editor Ni’matul Faizah