
PWMU.CO – Dalam kehidupan organisasi, khususnya dalam gerakan Islam modern seperti Muhammadiyah, keseimbangan antara leadership (kepemimpinan) dan followership (kepengikutan) merupakan fondasi penting dalam menjaga geraknya tetap dinamis, kolektif, dan berkelanjutan.
Selama ini, pembahasan mengenai kepemimpinan sering kali mendapat porsi lebih besar dibandingkan peran kepengikutan. Padahal, keduanya menjadi dua sisi dari mata uang yang sama, saling membutuhkan, dan tidak bisa dipisahkan dalam menggerakkan roda organisasi sehari-hari.
Kepemimpinan yang ideal dalam Muhammadiyah tidak menganut sistem kepemimpinan otoriter yang hanya menekankan pada instruksi dan kendali. Sistem kepemimpinan di Muhammadiyah lebih menganut pada pola kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Pemimpin adalah fasilitator, bukan penguasa. Ia menjadi penggerak nilai, penjaga arah perjuangan, sekaligus perangkai kekuatan umat. Dalam posisi ini, pemimpin Muhammadiyah harus memiliki visi yang kuat dan keteladanan yang nyata. Serta memiliki kemampuan komunikasi yang menyentuh hati dan logika anggota.
Pemimpin dan pengikut
Namun demikian, pemimpin tidak dapat bekerja sendiri. Ia membutuhkan barisan pengikut yang memiliki karakter kuat, sikap kritis yang sehat, serta kesiapan untuk terlibat aktif dalam kerja kolektif. Inilah yang disebut dengan followership yang bertanggung jawab. Pengikut bukan hanya sekadar pelaksana keputusan, tetapi juga mitra dalam berpikir dan bertindak. Ketika pengikut bersikap pasif, yang terjadi adalah lahirnya budaya diam (culture of silence). Sedangkan ketika pengikut bersikap kritis tapi tanpa arah, maka akan memunculkan kekacauan. Karena itu, keseimbangan antara pemimpin yang melayani dan pengikut yang berdaya menjadi penting.
Contoh paling nyata dari keseimbangan ini memancar dari pribadi dan pendekatan kepemimpinan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah ini menjadi sosok pemimpin pembaharu yang bervisi tajdid secara kuat. Tetapi ia juga sangat terbuka terhadap masukan dan kritik. Dalam mendirikan Muhammadiyah, ia tidak memaksakan gagasannya secara sepihak, melainkan membentuk secara kolektif-kolegial yang melibatkan murid, sahabat, dan keluarga. Ia membangun kepemimpinan emansipatoris yang mendidik, bukan yang mendominasi.
Salah satu momen penting Kiai Dahlan adalah ketika mengajarkan Al-Ma’un kepada murid-muridnya dengan cara yang sangat revolusioner. Beliau tidak menyuruh hanya menghafal atau menafsirkan, tetapi mempraktikkan langsung dengan mengunjungi orang miskin dan menyantuninya.
Ketika para murid mempertanyakan metode itu, Kiai Dahlan tidak memarahi, tapi justru menjadikan pertanyaan mereka sebagai bahan diskusi bersama. Inilah contoh pemimpin yang menghargai followership yang aktif dan kritis. Hasilnya, para murid menjadi pelanjut gerakan dengan memiliki kesadaran sosial tinggi dan loyalitas ideologis yang kokoh.
Keseimbangan ini juga menjadi penting untuk mencegah munculnya kultus individu dalam tubuh organisasi. Dalam sejarah gerakan sosial dan keagamaan, tidak sedikit organisasi yang kehilangan arah karena terlalu menggantungkan geraknya pada satu figur. Ketika figur itu hilang, organisasi limbung.
Kekuatan Muhammadiyah bukan pada satu dua tokoh, melainkan pada sistem dan kolektivitasnya. Pemimpin datang dan pergi, tetapi Persyarikatan tetap berjalan karena ada kesadaran kolektif yang dibangun bersama.
Selain itu, keseimbangan antara leadership dan followership mendukung tumbuhnya etos musyawarah dan semangat gotong royong. Hal itu menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah.
Pemimpin tidak mengambil keputusan secara sepihak, dan pengikut tidak menunggu perintah secara pasif. Keduanya saling berdialog, bermusyawarah, dan mencari jalan terbaik demi kemaslahatan umat. Dalam proses ini, terbangun community of practice yang solid, yakni komunitas yang belajar dan tumbuh bersama dalam semangat dakwah dan tajdid untuk perubahan.
Dalam praktik sehari-hari di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah — baik sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan sebagainya, — semangat ini perlu dijaga dan diperkuat. Jangan pernah ada jarak antara pimpinan dan warga, antara yang memutuskan dan yang melaksanakan. Dialog harus dibuka dan kritik harus diterima sebagai bagian dari cinta terhadap organisasi. Setiap warga Persyarikatan harus merasa memiliki peran dalam kemajuan institusi. Dengan demikian, bukan hanya efektivitas kerja yang meningkat, tetapi juga kualitas spiritual dan sosial dari gerakan itu sendiri.
Keseimbangan ini juga menjadi syarat utama terhadap proses regenerasi organisasi secara sehat. Pemimpin yang bijak akan membuka ruang bagi munculnya pemimpin baru, dan pengikut yang aktif akan mempersiapkan dirinya untuk mengambil tanggung jawab ketika saatnya tiba. Ketika keseimbangan ini dijaga, maka kaderisasi berjalan alami tanpa harus memaksakan kehendak atau menciptakan elitisme baru. Setiap kader tahu kapan ia harus memimpin dan kapan harus mendukung.
Lebih jauh, tantangan zaman yang makin kompleks seperti digitalisasi, disrupsi sosial, hingga pluralitas ideologi memerlukan pendekatan kepemimpinan yang lebih adaptif dan responsif. Pemimpin harus peka terhadap perubahan zaman, dan pengikut harus sigap dalam merespon tantangan tanpa kehilangan ruh gerakan. Dalam situasi seperti ini, kolaborasi menjadi kata kunci. Leadership dan followership bekerja sebagai satu kesatuan dalam menyusun strategi, melaksanakan program, dan menjaga nilai-nilai organisasi agar tetap relevan dengan semangat zaman.
Karena itu, keseimbangan antara kepemimpinan dan kepengikutan bukan hanya urusan teknis organisasi. Tetapi juga bagian dari etika gerakan Islam yang menekankan prinsip keteladanan (uswah hasanah), kesediaan saling membantu (ta’awun), dan tanggung jawab kelembagaan (institutional responsibility).
Persyarikatan kuat bukan semata karena pemimpinnya hebat, tetapi karena setiap elemen di dalamnya saling menopang, saling mengingatkan, dan saling meneguhkan. Seperti yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan, pemimpin sejati (authentic leader) tidak melahirkan pengikut yang taklid, tetapi generasi yang siap berdiri sejajar untuk memikul risalah dakwah Islam berkemajuan. (*)
Editor Notonegoro