
PWMU.CO – Kemajuan teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI) belakangan ini menggemparkan dunia dengan terobosan-terobosan baru yang bebas diakses oleh siapa saja. Terbaru, OpenAI memperkenalkan fitur menarik pada GPT-40 yang membantu pengguna menghasilkan gambar gaya artisitik, termasuk animasi kartun khas Studio Ghibli Jepang yang sedang viral di kalangan pengguna media sosial. Namun, dibalik kopupulerannya muncul juga kekhawatiran terhadap hukum serta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berlaku.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum sekaligus Ketua Sentra HKI Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Sofyan Arief, menyoroti bahwa hingga saat ini belum ada regulasi Undang-Undang (UU) di Indonesia yang gamblang membahas isu tersebut.
Sementara itu, di beberapa negara Eropa dan Amerika sendiri sudah ada peraturan yang menyebut bahwa karya yang dihasilkan AI tidak ada hak kepemilikan secara langsung. Ini menjadi hal kompleks lantaran AI bergerak sendiri berdasarkan data yang sudah tersedia dalam sistem, sehingga orisinalitas karya masih ambigu dan kerap dipertanyakan.
Untuk itu, menurut Sofyan, sangat penting untuk mencermati dan memahami terlebih dahulu syarat dan ketentuan yang harus disepakati antara pihak terkait sebelum menggunakan pelayanan AI yang kerap kali diabaikan oleh pengguna. Seperti perjanjian untuk menunjukkan bahwa konten tersebut adalah buatan AI. Hal ini sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada audiens agar dapat memberikan feedback yang tepat terhadap konten yang dibuat oleh AI.
“Di samping menunggu regulasi kebijakan pemerintah mengenai fenomena tersebut, untuk saat ini, jalan tengah permasalah terletak pada kepakatan yang disetujui oleh pengguna dan pihak AI yang sudah tersedia. Terlebih lagi, jika kita menggunakan jasa mereka untuk kepentingan komersial,” jelasnya.

Pada dasarnya, hakikat keberadaan AI adalah sebagai sebuah tools atau alat. Sebagaimana fungsinya, sebuah tools dipengaruhi oleh keinginan dan kebutuhan pengguna dan pencipta. Menurutnya, melihat kemajuan zaman sangat memungkinkan muncul berbagai perubahan kebijakan dan sebagainya.
Misal, ketika sistem sudah berjalan dengan melibatkan campur tangan langsung pengguna melalui ide terhadap sistem atau program, bisa dihargai dalam penciptaan dari karya yang dihasilkan. Caranya, dengan sebuah perjanjian mengenai pemanfaatan dari hasil yang digunakan untuk komersial.
Lebih lanjut, mengenai isu hangat perdebatan mengenai hak cipta konten AI, Sofyan menjelaskan sejauh mana unsur pelanggaran hak cipta karya AI terhadap karya orisinal yang dicontoh dan berdasarkan komersialisasi hasil. Maka dari itu, ia juga mengingatkan masyarakat untuk bisa memahami secara detail mengenai kerja sistem suatu program, serta selalu bijak dalam menggunakan tools digital.
“Meski demikian, ke depannya, saya rasa perlu ada regulasi peraturan yang dibuat sebagai sebuah jalan keluar akan permasalahan yang terjadi. Namun, perlu kita ingat bersama bahwa AI bukan sebuah subjek hukum, sehingga tidak bisa dituntut oleh hukum,” tambahnya. (*)
Penulis Hassan Al Wildan Editor Amanat Solikah