
PWMU.CO – Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur menggelar Pelatihan Instruktur Pengkaderan pada Jumat-Minggu (18-20/4/2025) di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas instruktur Muhammadiyah agar lebih efektif dalam merancang dan melaksanakan pelatihan yang berbasis pada kebutuhan nyata di lapangan.
Pelatihan ini diikuti oleh kader-kader Muhammadiyah dari berbagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di wilayah barat Jawa Timur, termasuk Ponorogo, Madiun, Pacitan, dan Kediri. Para peserta merupakan calon instruktur maupun instruktur yang telah aktif dalam proses kaderisasi di lingkungan Muhammadiyah.
Pada hari pertama sesi kedua, peserta mendapatkan materi penting bertema Training Need Analysis (TNA) yang disampaikan oleh narasumber berpengalaman, Cahyo Setiyo Budiono SS MHum. Ia merupakan dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya sekaligus praktisi pendidikan yang telah lama berkecimpung dalam manajemen sumber daya manusia dan pengembangan kader.
Materi TNA ini membahas proses penilaian kebutuhan pelatihan yang dilakukan secara sistematis dan berbasis data. Menurut Cahyo, masih banyak pelatihan yang diselenggarakan tanpa melalui proses analisis kebutuhan yang memadai, sehingga hasilnya sering kali tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kinerja individu maupun organisasi.
“Pelatihan yang hanya menjalankan program dari atas atau sekadar mengikuti tren, tanpa memahami kebutuhan nyata peserta di lapangan, cenderung sia-sia,” tegas Cahyo dalam presentasinya.
Ia juga menekankan bahwa TNA bukan sekadar formalitas, melainkan proses penting dalam perencanaan pelatihan. Melalui pendekatan TNA, organisasi dapat mengidentifikasi secara tepat kekurangan atau kesenjangan kinerja (gap) yang ada, serta menilai apakah pelatihan merupakan solusi yang tepat untuk mengatasinya atau tidak.
“TNA dilakukan melalui tiga tahapan utama yakni mengumpulkan informasi, menganalisis informasi tersebut, dan merancang rencana pelatihan berdasarkan hasil analisis. Metodologi yang digunakan dalam TNA pun beragam, mulai dari wawancara, observasi, survei, hingga studi dokumentasi. Bahkan, pendekatan informal juga dapat diterapkan melalui pertanyaan reflektif kepada pihak pemohon pelatihan,” jelasnya.
Cahyo, sebagai fasilitator utama sesi ini, tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga mendorong partisipasi aktif peserta melalui diskusi kelompok. Ia membagi peserta ke dalam delapan kelompok dan memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk mengidentifikasi satu kalimat yang menggambarkan kondisi kebutuhan pelatihan di daerah asal mereka.
Melalui proses ini, peserta tidak hanya memahami konsep TNA secara teoretis, tetapi juga mampu mengaitkannya dengan realitas yang mereka hadapi di lapangan.
“Diskusi kelompok ini menjadi ajang refleksi bersama bagaimana selama ini kita merancang pelatihan dan apa yang harus kita perbaiki ke depan,” ujar salah satu peserta.
Ia juga menyampaikan bahwa kebutuhan akan pelatihan yang berbasis analisis menjadi sangat penting, mengingat tantangan kaderisasi di Muhammadiyah semakin kompleks. Banyak pelatihan atau proses perkaderan yang telah dilaksanakan, namun tidak menunjukkan peningkatan signifikan terhadap kualitas kader. Hal ini kerap terjadi karena pelatihan tidak didasarkan pada data dan fakta di lapangan.
Menurutnya, dengan pendekatan TNA, kita dapat menjawab beberapa pertanyaan kritis sebelum pelatihan dilaksanakan, seperti: Apakah pelatihan benar-benar dibutuhkan? Siapa yang paling tepat menjadi peserta pelatihan? Apakah permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan melalui pelatihan, atau justru membutuhkan solusi lain?.
“Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, pelatihan akan menjadi lebih terarah, terukur, dan berdampak. Bahkan, jika ternyata permasalahan yang ada tidak disebabkan oleh kekurangan keterampilan, maka pelatihan bukanlah solusi yang tepat. Dalam kasus seperti itu, pendekatan non-pelatihan seperti perbaikan sistem kerja, peningkatan komunikasi internal, atau penguatan motivasi bisa menjadi alternatif yang lebih efektif,” tegasnya.
Pelatihan ini menggabungkan penyampaian teori, studi kasus, serta praktik langsung melalui kerja kelompok, guna memastikan pemahaman yang utuh dan aplikatif bagi para peserta.
Setelah mendapatkan penjelasan konsep TNA, peserta diminta untuk melakukan praktik analisis sesuai dengan tujuh metode yang disampaikan, yaitu:
1. Analisis Kinerja (Gap Analysis)
2. Analisis Kelayakan (Feasibility Analysis)
3. Analisis Kebutuhan vs Keinginan
4. Analisis Tujuan
5. Analisis Pekerjaan/Tugas
6. Analisis Populasi Sasaran
7. Analisis Kontekstual
Selanjutnya, setiap kelompok mendalami satu jenis analisis, lalu mempresentasikan temuannya di hadapan forum. Hasil diskusi tersebut kemudian dijadikan bahan refleksi bersama untuk menyusun rekomendasi penyelenggaraan pelatihan yang lebih efektif di daerah masing-masing.
Pada kesempatan ini, Cahyo juga menekankan bahwa dalam melakukan analisis, peserta perlu mempertimbangkan berbagai dimensi yang memengaruhi kinerja, seperti keterampilan, motivasi, kondisi kerja, komunikasi, manajemen, serta aspek psikologis.
Selain itu, menurutnya proses analisis juga harus melibatkan stakeholder agar rencana pelatihan yang disusun bersifat kolaboratif dan aplikatif. Pelatihan instruktur pengkaderan Muhammadiyah yang diselenggarakan MPKSDI PWM Jawa Timur ini menjadi tonggak penting dalam mendorong budaya pelatihan berbasis kebutuhan di lingkungan Muhammadiyah.
Dengan memahami konsep TNA, para instruktur tidak hanya sekadar menyampaikan materi, tetapi juga mampu menyusun pelatihan yang benar-benar relevan, efektif, dan berdampak.
“Pelatihan harus mulai dirancang berdasarkan kebutuhan yang nyata, bukan sekadar karena adanya program. Kebutuhan yang jelas akan menghasilkan pelatihan yang bermakna,” pungkasnya.
Ke depan, MPKSDI berharap metode TNA tidak hanya diterapkan dalam pelatihan instruktur, tetapi juga digunakan secara menyeluruh dalam perencanaan kaderisasi dan pengembangan sumber daya manusia Muhammadiyah di semua tingkatan. Dengan demikian, harapan untuk mencetak kader yang unggul, adaptif, dan visioner dapat tercapai dengan lebih optimal. (*)
Penulis Nur Maslikhatun Nisak Editor Ni’matul Faizah