
PWMU.CO – Status “kewarganegaraan” merupakan hak asasi setiap warga negara (every citizen). Sebagai seorang warga negara berhak memperoleh perlindungan hukum, akses terhadap layanan umum, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses politik. Secara teoritis, kewarganegaraan harus dapat menjamin setiap individu yang berada dalam negara tersebut untuk diperlakukan secara adil dan setara.
Tetapi realitasnya, status kewarganegaraan kerapkali lebih sebagai sarana untuk menjaga kekuasaan. Atau sebagai sarana untuk menginjak kelompok atau individu tertentu yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Penyalahgunaan kewarganegaraan sebagai alat politik ini adalah sebuah fenomena yang tak jarang kita temukan dalam berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Pencabutan hak kewarganegaraan seseorang tanpa proses hukum yang transparan adalah salah satu jenis manipulasi status kewarganegaraan yang mungkin akan menghasilkan ketidakadilan. Dalam sejarah Indonesia, pencabutan hak kewarganegaraan terhadap orang-orang yang memiliki pandangan politik berseberangan dengan pemerintah pernah terjadi dalam masa pemerintahan otoriter.
Pada era Orde Baru, sejumlah orang yang dituding berideologi komunis, atau terlibat dalam pergerakan yang dianggap subversif terhadap negara. Sebagai konsekuensinya, mereka kemudian kehilangan status kewarganegaraannya.
Tindakan penghilangan hak kewarganegaraan yang karena faktor kepentingan politik kekuasaan seperti era Orba itu sebenarnya telah melanggar hak asasi manusia. Tindakan itu sebagai perilaku negara yang menjadi warganya sebagai alat politik saja.
Salah satu contoh masalah tentang kewarganegaraan terkait kasus Warga Negara Indonesia (WNI) eks-ISIS. Pemerintah Indonesia pada tahun 2019 pernah memutuskan untuk tidak memulangkan warganya yang terafiliasi dengan kelompok teroris tersebut, dengan alasan demi menjaga keamanan negara.
Meskipun alasan ini dapat diterima dari perspektif keamanan nasional. Kebijakan tersebut juga menimbulkan pertanyaan etis dan hukum. Apakah negara berhak mencabut atau menangguhkan kewarganegaraan seseorang atas dasar ideologi atau afiliasi politik? Dalam kasus ini, pemerintah tampak menggunakan kewarganegaraan sebagai alat untuk membedakan antara yang dianggap ‘layak’ dan yang ‘tidak layak’ dilindungi oleh negara.
Kasus lain, adanya rumor mobilitas status kewarganegaraan berkaitan dengan pemilu. Tidak jarang menjelang pemilu, muncul isu-isu terkait penyalahgunaan status kewarganegaraan untuk mendiskreditkan calon atau tokoh politik tertentu. Salah satu contoh nyata adalah tuduhan kepada seorang pejabat publik memiliki kewarganegaraan ganda. Meskipun tuduhan tersebut tidak disertai bukti yang kuat. Tujuannya jelas, yaitu untuk merusak citra publik calon tersebut tanpa alasan yang benar.
Selain di Indonesia, masalah kewarganegaraan juga terjadi di negara lain. Nasib etnis Rohingya di Myanmar, misalnya, yang telah puluhan tahun tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Padahal mereka telah tinggal dan bermukim di Myanmar selama ratusan tahun. Mereka dianggap sebagai “pendatang ilegal” oleh pemerintah Myanmar, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah keturunan dari penduduk asli wilayah tersebut. Karena status kewarganegaraan mereka yang tidak diakui, orang-orang Rohingya tidak dapat mengakses hak-hak dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan hukum.
Selain itu, mereka sangat rentan terhadap kekerasan dan pengusiran. Kasus ini menunjukkan bagaimana kewarganegaraan yang seharusnya menjadi hak dasar, malah digunakan untuk menindas kelompok tertentu.
Mencermati fenomena tersebut, masyarakat harus semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan publik dan mendorong transparansi dalam proses pembuatan kebijakan. Negara juga harus menjamin bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki hak yang sama untuk diakui sebagai anggota bangsa serta mendapatkan akses yang adil terhadap perlindungan hukum.
Proses naturalisasi, kewarganegaraan, dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan status kewarganegaraan tidak boleh menjadi alat politik. melainkan harus dijalankan berdasarkan prinsip transparansi dan keadilan. Tidak ada satu pun individu yang boleh diasingkan atau didiskriminasi dalam hal ini.
Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap kebijakan yang berkaitan dengan kewarganegaraan agar tidak disalahgunakan demi kepentingan politik semata. Lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman harus mendapat peran yang lebih kuat dan independen dalam memastikan bahwa pengaturan kewarganegaraan berjalan secara adil, transparan, dan tidak menjadi alat diskriminasi atau penindasan terhadap kelompok tertentu. Di sisi lain, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kewarganegaraan sebagai hak dasar yang melekat pada setiap individu juga harus terus tumbuh. Hal ini penting agar setiap warga negara dapat menikmati hak-haknya tanpa rasa takut kehilangan status hukum mereka secara semena-mena.
Kewarganegaraan bukan sekadar status administratif atau sebatas kepemilikan dokumen identitas, melainkan hak fundamental yang tidak bisa batal begitu saja tanpa dasar hukum yang sah dan proses yang adil. Negara seharusnya berfungsi sebagai pelindung hak-hak warga, bukan sebagai pengendali yang dapat mempermainkan status hukum seseorang untuk tujuan politik. Tanpa penghormatan terhadap kewarganegaraan sebagai hak universal, kepercayaan publik terhadap negara dan supremasi hukum akan terus menurun—dan ini merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi.
Pro dan Kontra terhadap Kewarganegaraan sebagai Alat Politik
Kewarganegaraan, dalam konteks modern, bukan hanya sekadar status hukum yang menunjukkan ikatan seseorang dengan negara tertentu. Ia juga menjadi simbol partisipasi politik, identitas nasional, serta akses terhadap hak dan perlindungan negara. Namun, ketika kewarganegaraan dijadikan alat politik oleh negara atau kekuasaan tertentu, muncul pro dan kontra yang tidak bisa dihindari. Status kewarganegaraan bisa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, namun juga dapat berujung pada diskriminasi, marginalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dari sudut pandang yang pro, perlindungan terhadap stabilitas nasional menjadi prioritas. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut atau menolak kewarganegaraan individu yang dapat membahayakan keamanan nasional, seperti dalam kasus WNI eks-ISIS. Dalam konteks ini, status kewarganegaraan dapat menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas dan ketertiban masyarakat.
Negara berhak memutuskan siapa yang berhak menjadi warganya sebagai instrumen kedaulatan politiknya. Dalam masyarakat hukum, kewarganegaraan adalah perjanjian sosial dapat dicabut dalam halnya dimilikinya meremehkan oleh negara warganya sendiri.
Sementara bagi pihak yang kontra, pencabutan kewarganegaraan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kewarganegaraan adalah hak dasar yang tidak dapat dicabut sebelum jangka waktu tertentu. Penggunaannya sebagai alat politik dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dan keadilan.
Penyalahgunaan kewarganegaraan secara umum berakhir dengan diskriminasi, seperti yang terjadi pada etnis Rohingya. Mereka menjadi tanpa kebangsaan dan tidak mendapatkan hak-hak alat dari negara. (*)
Editor Notonegoro