
PWMU.CO – Seekor keledai pernah menemukan kulit singa yang tergeletak di padang. Keledai itu pun memakainya, kemudian berjalan dengan pongah menakuti hewan-hewan lain hingga lari terbirit-birit mengira ia predator. Keledai itu merasa puas, hingga ia membuka mulut dan meringkik. Suaranya mengungkap jati diri yang sebenarnya — seekor keledai dalam kulit pinjaman. Maka bubarlah kekaguman, dan datanglah cemoohan.
Fabel klasik ini terasa relevan di era sekarang, ketika media sosial penuh dengan “keledai digital” yang berkeliaran memakai “kulit singa” berupa akun publik, mikrofon, dan kamera. Mereka percaya diri membuat konten seolah paham, membahas isu rumit mulai dari kebijakan publik, kesehatan, hingga agama dan filsafat — tanpa pengetahuan memadai.
Celakanya, mereka justru mendapatkan panggung. Video pendek, cuitan lantang, atau caption bombastis menyebar cepat, melampaui konten yang merupakan hasil karya dari mereka yang benar-benar ahli.
Fenomena ini bukan sekadar soal maraknya konten asal-asalan. Ia mencerminkan gelombang baru dari apa yang bisa disebut sebagai jahiliyah digital: zaman keterhubungan yang seharusnya menjadi ruang bertumbuhnya pengetahuan, justru memfasilitasi parade kebodohan yang dipertontonkan tanpa malu.
Di zaman Nabi Muhammad, istilah jahiliyah merujuk pada masa sebelum datangnya Islam. Ketika kebodohan (dalam arti moral maupun intelektual) menjadi norma. Kini, dengan wujud yang lebih canggih dan alat yang lebih kompleks, kita menyaksikan bentuk baru dari jahiliyah itu sendiri. Tapi kali ini lebih licik: kebodohan menyamar sebagai kepakaran.
Dalam buku The Death of Expertise, Tom Nichols menyoroti bagaimana masyarakat modern semakin tidak menghargai keahlian. Di dunia yang banjir informasi, setiap orang merasa setara dalam hal opini — meskipun yang satu berbicara berdasarkan riset bertahun-tahun, sedang yang lain cuma modal baca status WhatsApp. Media sosial memampukan semua orang untuk bersuara, tapi juga menumpulkan keinginan untuk menyaring mana yang benar dan mana yang hanya berisik.
Ini berhubungan dengan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai efek Dunning-Kruger: orang yang kurang kompeten cenderung melebih-lebihkan kemampuannya. Mereka tidak tahu bahwa mereka tidak tahu. Sementara itu, mereka yang paham justru sering merasa tidak cukup tahu. Alhasil, yang ramai di linimasa adalah orang-orang yang lantang tapi dangkal, dan yang sebenarnya layak didengar memilih diam.
Lebih celakanya lagi, spiral ini memperoleh penguatan dari algoritma. Komentar yang sesungguhnya asal-asalan mendapatkan tanggapan dengan komentar yang lebih kacau. Reaksi dilawan reaksi. Konten bodoh ditimpali komentar yang tidak kalah bodoh. Inilah spiral kebodohan digital. Menurut teorisasi information pollution atau “sampah digital” dari Luciano Floridi, ketika informasi sampah mendominasi ruang publik, maka kebenaran jadi sulit ditemukan. Kita terperangkap dalam limbo (keadaan yang tidak pasti) antara opini, noise, dan manipulasi.
Orang bodoh, selain lantang, cenderung lebih kasar. Mereka tidak segan memaki orang lain yang berbeda pendapat, seolah-olah pengetahuan adalah urusan keberpihakan. Mereka menyerang ilmuwan, jurnalis, bahkan dokter—karena “merasa” lebih tahu berkat dua menit scroll video TikTok. Sementara itu, orang-orang yang benar-benar belajar dan berhati-hati dalam berpendapat justru memilih menjauh, enggan terlibat dalam debat kusir.
Lalu bagaimana kita bertahan di tengah keruwetan ini?
Pertama, saring sebelum sharing. Tidak semua yang terlihat meyakinkan benar-benar akurat. Kedua, kenali sumber. Bila konten atau akun tidak memiliki rekam jejak yang bisa dipercaya, abaikan saja. Ketiga, latih skeptisisme sehat: bukan untuk membantah semua hal, tetapi untuk menguji argumen sebelum menerimanya. Keempat, dukung dan sebar ulang suara-suara yang benar-benar paham—meskipun tidak sepopuler selebgram atau podcaster viral.
Di tengah kerumitan ini, ada baiknya kita mulai kembali membiasakan bertanya hanya kepada ahlinya, dan diam ketika kita tidak benar-benar ahli. Atau dalam bahasa guyon kita, bukan pada “kurang adoh ngopimu“, tapi “kurang cerdas teman ngopimu“.(*)
Editor Notonegoro