
PWMU.CO – Suatu hari saya bertemu seorang sahabat yang kebetulan seorang Gus ― panggilan untuk anak seorang kiai di Jawa. Setelah saling menanyakan kabar, tanpa saya tanya — sambil merokok — ia bercerita tentang kesibukannya untuk memenuhi undangan ceramah, mimpin doa, menerima tamu atau mengajar di pesantren. Masyarakat sekitar memandangnya sebagai tokoh agama. Dia pun disanjung, dihormati, dan bahkan dicium tangannya.
Dengan wajah berbinar dan gimik yang khas, ia balik bertanya, “Apa aktivitasmu sekarang mas? Mengajar dimana? Bisnis apa?” Kujawab dengan singkat, “Mengajar diri sendiri, istri, dan anakku”. Faktanya saya memang memilih tidak mengajar bukan karena lebih baik, tetapi saya belum selesai terhadap diri sendiri. Bagi saya, mendidik diri sendiri merupakan jihad yang paling personal.
Ia tertawa kecil, entah mengejek, basa-basi atau sekadar tidak mengerti. Terasa ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Di balik gimik dan tutur katanya, saya menangkap sesuatu. Maksud yang tak terucapkan, namun bisa terasa sebagai bahasa universal: ‘Ingin dihormati’.
Dengan berkata demikian, seolah ia membandingkan dirinya dengan saya yang notabene kelompok proletar, jauh dari aktivitas yang dilakoninya. Ia seolah berkata, bahwa menjadi manusia ideal menurut pandangan agama harus selalu melibatkan murid dan hingar-bingar panggung.
Dalam batin, saya bertanya, benarkah ia berkata tentang pengabdian? Ataukah tentang pencarian sebuah identitas yang haus validasi? Tentu jawabannya “bisa ya” dan “bisa tidak”. Tergantung siapa yang memandangnya. Bagiku ini adalah semangat yang tampaknya murni namun masih menyisakan aroma narsisme dalam balutan jubah agama. Inilah fenomena narsisme religius.
Narsisme dan akar-akarnya
Dalam perspektif Islam, narsisme bukanlah sesuatu yang baru. Ia merupakan peristiwa yang teramat purba, bahkan terbentuk sejak manusia pertama kali diciptakan. Adalah Iblis pelopor utama narsisme. Ia adalah narsistik pertama dalam sejarah alam semesta. Usai menciptakan Nabi Adam, Allah Swt berfirman kepada Malaikat (termasuk kepada Iblis):
اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡٓا اِلَّاۤ اِبۡلِيۡسَؕ اَبٰى وَاسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ الۡكٰفِرِيۡنَ
“Sujudlah kalian kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS Al-Baqarah 34).
Iblis terjebak dalam labirin narsisme. Ia merasa lebih baik dan lebih suci dari manusia (Nabi Adam). Merasa lebih dahulu mengenal Allah serta lebih banyak intensitasnya dalam beribadah kepadaNya. Karena itu, Iblis minta untuk dihormati, diakui ketaatannya, diakui senioritasnya sebagai makhluk. Dan ketika ekspektasinya tidak tercapai, Iblis pun makar. Akibatnya, iblis terusir dari surga. Di hadapan Allah, Iblis berjanji akan menginjeksi segala bentuk sifat-sifat tercela kedalam diri anak Adam, termasuk Narsisme.
Fenomena narsisme religius
Narsisme merupakan gejala psikologi. Menurut Heinz Kohut―narsisme bukan soal mencintai diri sendiri secara berlebihan, tetapi juga kebutuhan untuk terus merasa superior dan berbeda dengan orang lain. Sebagai fenomena psikologi, narsisme bisa menjangkiti siapa saja, termasuk kalangan agamawan.
Dalam puisi Negeri Amplop, Gus Mus menyindir, “Orang Sakti bisa mati, Orang Alim bisa nafsu”. Betapa pun hebat dan alimnya seseorang, ia tetaplah manusia, jenis makhluk yang berpotensi melakukan kesalahan. Di permukaan bumi ini hanya Nabi Muhammad satu-satunya manusia sempurna tanpa cela, tanpa kesalahan. Beliau mendapatkan garansi dan proteksi langsung dari Sang Pencipta atas segala bentuk dosa dan kesalahan (ma’sum). Karena itu beliau diperingati maulidnya (hari lahir), bukan haul (hari wafat).
Narsisme dalam ranah keagamaan muncul dalam beragam bentuk, seperti keinginan untuk di istimewakan―diundang khusus, duduk di barisan depan, di beri ruang berbicara serta menjadi rujukan moral bagi banyak orang.
Bahkan dalam kondisi tertentu, narsisme acapkali bersembunyi, berlindung di balik identitas religius. Orang dengan kecenderungan ini tidak selalu tampak sombong. Mereka bisa terlihat rendah hati, tetapi peka terhadap pujian, penghormatan, dan posisi sosial. Merendahkan diri untuk menaikkan mutu. Kecenderungan ini menjadi semacam taktik survive di tengah masyarakat yang masih memuliakan gelar dan kehormatan. Di sinilah berlaku kritik dari Karl Marx, “Bahwa agama adalah candu bagi masyarakat”.
Dalam konteks sahabat saya, apakah semata-mata sebagai kesalahan yangtercipta dengan sendirinya? tentu tidak. Tapi cara pandangnya masih sempit, dan kultur masyarakatlah yang telah membentuknya sedemikian rupa. Dalam masyarakat awam dengan minim literasi keagamaan, status putra kiai (Gus) atau tokoh agama acapkali membawa aura magis tersendiri. Dicium tangannya sebagai tanda penghormatan.
Tanpa disadari, mereka memperlakukannya layaknya seorang artis. Dengan gemerlap, ekspektasi atau pengagungan berlebihan yang cenderung menyesatkan. Bahkan, dalam kondisi tertentu disakralkan secara simbolik. Seolah garis keturunan bisa membuat seseorang menjadi lebih dekat kepada Tuhan.
Ketika agama direduksi menjadi panggung identitas, kehormatan menjadi lebih penting dari kedalaman ilmu dan akhlak. Dan pengajaran bukan lagi soal menyampaikan ilmu, tetapi upaya membangun panggung―agar orang lain menunduk bukan karena Allah, melainkan karena kita. Na’udzubillah min dzalik.
Refleksi: kepemimpinan agama yang autentik
Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa orang yang terbaik adalah yang paling rendah hati. Ia menolak disanjung berlebihan. Dalam Riwayat Abu Dawud Nabi bersabda, “Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang Nasrani memuji Isa bin Maryam”. Maksudnya, religiusitas sejati selalu menggiring kedalam sifat rendah hati, bukan glorifikasi diri.
Narsisme religius merupakan tantangan serius dalam kehidupan agama kita. Diperlukan upaya bersama dari semua pihak untuk mengembalikan esensi kepemimpinan keagamaan yang autentik. Yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada keteladanan, kerendahan hati, kedalaman ilmu, dan pelayanan terhadap umat. Religiusitas adalah tentang menurunkan ego, bukan malah memeliharanya.
Alhasil, tulisan ini bukan bentuk penghakiman, bukan. Tetapi semata sebagai otokritik terhadap diri sendiri, mungkin juga untuk kita semua. Saya belajar mencurigai diri sendiri, jangan-jangandalam segala aktivitas saya justru membangun altar pujian bagi diri sendiri. Sebab dibalik setiap gerak amal, tersembunyi hasrat untuk dilihat. Dibalik salam yang kita terima, ada ego yang terpuaskan. Dalam setiap doa, terbesit sebuah bisikan, “semoga aku selalu tampak baik di mata manusia, selain di mata Tuhan”. Saat tangan kita dicium, bukan rasa Syukur, tetapi superioritas yang hadir. Wallahu a’lam bish shawab.
Editor Notonegoro