
PWMU.CO- Real Madrid kembali menuai hasil pahit. Setelah tersingkir dari Liga Champions dengan agregat telak 1-5 oleh Arsenal, Los Blancos harus menelan kekalahan lagi di final Copa del Rey lewat drama el clasico—kalah 2-3 dari rival abadi, Barcelona.
Tragisnya, ini bukan yang pertama musim ini. Sebelumnya Madrid dibantai 0-4 di LaLiga dan 2-5 di final Supercopa. Satu pertanyaan pun mencuat: Ada apa dengan Real Madrid?
Prof Dr Haedar Nashir MSi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ikut angkat suara. Dalam unggahan Facebook-nya (28/4/2025), beliau menilai kekalahan beruntun ini bukan semata soal performa pemain atau kesalahan pelatih. Ini soal sistem. “Madrid terlalu mengandalkan skill individual, minus pola permainan kolektif,” tegasnya.
Padahal Carlo Ancelotti bukan pelatih sembarangan. Ia telah menghadirkan tiga trofi Liga Champions untuk Madrid. Namun dalam sepak bola modern, pelatih sekelas Ancelotti pun bisa terjebak jika tidak menyelaraskan permainan dengan sistem yang solid.
Lihatlah Barcelona. Di bawah Hansi Flick, tim muda ini mampu bangkit. Bukan dengan nama besar, tapi dengan sistem. Tidak lagi mengandalkan tiki-taka murni, Flick membawa pendekatan pragmatis—serangan vertikal cepat namun terstruktur. Ini bukan sekadar gaya, tapi strategi berbasis data, sains, dan sinergi tim.
Contoh lain datang dari Pep Guardiola. Setelah gagal total di Bayern karena terlalu terpaku pada penguasaan bola, ia menemukan racikan baru di Manchester City: kombinasi antara kontrol permainan dan serangan langsung. Hasilnya? Era dominasi baru di Premier League, meski tahun ini harus merelakan gelar karena penurunan performa pemain inti.
Hal serupa terjadi di kancah internasional. Argentina di bawah Lionel Scaloni adalah contoh negara yang bertransformasi dari tim berbasis bintang ke tim berbasis sistem. Hasilnya? Juara dunia dan kini memuncaki kualifikasi Piala Dunia 2026. Brasil? Masih terseok dengan skill individual yang tak lagi cukup di sepak bola masa kini.
Jadi, apa yang Madrid butuhkan? Bukan sekadar pemain bintang, tapi sistem. Bukan hanya skill individu, tapi kolektivitas. Pelatih seperti Xabi Alonso atau Jurgen Klopp bisa jadi solusi. Keduanya dikenal dengan pendekatan sistematis yang memadukan disiplin taktik dan semangat menyerang.
Hikmah
Namun pelajaran ini tidak berhenti di sepak bola. Dalam kehidupan berorganisasi, berbangsa, dan bernegara pun prinsip yang sama berlaku: kualitas manusia harus dibarengi dengan kekuatan sistem. Sebaik apa pun seseorang, tanpa sistem, hasilnya tidak akan maksimal.
Saatnya Indonesia belajar dari Madrid dan Barca. Bangun sistem yang unggul, kembangkan sumber daya manusia, dan buktikan bahwa dengan sinergi keduanya, bangsa ini bisa melompat jauh ke depan.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Azrohal Hasan