
PWMU.CO – Sebagai mahasiswa generasi pasca Reformasi 1999, saya cukup sering mendengar bahwa Indonesia telah menjadi negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Secara normatif kita menyaksikan pemilihan umum (pemilu) berjalan lancar. Partai politik tumbuh subur dan beragam, media massa pun relatif bebas dalam mengunggah berita.
Namun, kian saya perhatikan realitas politik yang terjadi, terasa demokrasi yang berjalan ini masih terjebak dalam tataran procedural. Sebatas rutinitas tanpa ruh keadilan yang sebenarnya.
Demokrasi prosedural hanyalah wajah luar demokrasi yang berubah pemilu, kebebasan berpendapat, dan lembaga perwakilan. Tapi demokrasi yang substantif lebih dalam dari itu semua. Demokrasi substansial menyentuh inti tujuan dari demokrasi itu sendiri. Yaitu berupa: kesejahteraan rakyat, kesetaraan hak, serta pengambilan kebijakan yang mencerminkan kepentingan publik. Pada titik inilah saya merasa ada kesenjangan yang sangat jauh.
Contoh sangat nyata, pemilu yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan, justru dominan dengan praktik politik uang, pencitraan kosong, atau permainan isu identitas. Sementara rakyat, terutama di daerah, masih banyak yang belum memahami makna hak politik mereka. Bukan karena bodoh, tapi karena sistem pendidikan politik yang lemah dan tidak merata.
Suatu ketika saya berbincang tentang pilihan dalam pemilu dengan warga desa tempat saya tinggal. Mereka secara jujur berkata bahwa mereka memilih calon dalam pemilu bukan karena visi atau program, melainkan karena pemberian berupa sembako. Bagi mereka, sembako adalah bantuan nyata.
Siapa yang bisa menyalahkan mereka ketika kebutuhan pokok saja sulit terpenuhi? Inilah realitas pahit demokrasi kita. Suara rakyat bisa dibeli murah, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena negara belum cukup hadir dalam kehidupan mereka.
Saya yakin bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Tapi bagaimana kekuasaan itu berfungsi untuk melayani dan memberdayakan. Demokrasi yang sehat bukan hanya soal siapa yang terpilih, tetapi apakah mereka bekerja untuk rakyat atau hanya untuk kepentingan kelompok.
Meskipun demokrasi prosedural ini berjalan dengan cukup lancar dan terlihat sebagai tanda kemajuan, saya mulai berpikir: “Apakah pelaksanaan pemilu dan prosedur politik yang kita jalankan benar-benar mencerminkan keinginan rakyat?” Jangan-jangan demokrasi kita hanya sebatas rutinitas formal yang tidak mengarah pada perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat? Ketimpangan antara demokrasi prosedural yang kita jalankan dan demokrasi substantif yang kita cita-citakan semakin jelas, dan menjadi masalah yang memerlukan perhatian serius.
Problem demokrasi
Masalah utama dalam hal ini adalah bahwa rakyat sering kali terjebak dalam politik transaksional. Aspirasi mereka mudah terbeli dengan bantuan langsung atau iming-iming material, bukan berdasarkan visi dan program jangka panjang yang bisa mengubah kehidupan mereka. Inilah yang membuat demokrasi substantif—yang mencakup pemerataan, keadilan sosial, dan kesejahteraan—terasa jauh dari jangkauan.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat lebih substantif tentang adanya ketimpangan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Ada apa di balik prosedur pemilu yang selama ini berjalan? Mengapa gelaran pemilu yang demokratis, ketimpangan sosial dan ekonomi masih besar? Dan terpenting lagi, apa yang harus kita lakukan untuk mengubah situasi ini menjadi lebih baik?Ketimpangan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif di Indonesia merupakan masalah mendasar yang perlu segera terselesaikan.
Meskipun secara prosedural Indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara demokratis karena telah sukses menyelenggarakan pemilu, kebebasan berpendapat terjamin, dan sistem multipartai. Namun secara substantif, cita-cita demokrasi sejati belum sepenuhnya terwujud. Kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan pemerataan hak serta akses terhadap sumber daya masih jauh dari harapan.
Sebagai Mahasiswa, saya meyakini bahwa demokrasi seharusnya tidak berhenti pada pencoblosan surat suara di bilik suara. Demokrasi sejati adalah ketika suara rakyat benar-benar terdengar dan diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan bersama, bukan hanya segelintir elite. Oleh karena itu, perlu upaya kolektif untuk memperkuat pendidikan politik, meningkatkan partisipasi rakyat secara aktif di luar momen pemilu. Dan mendorong elite politik agar benar-benar bertanggung jawab terhadap mandat yang mereka emban. Hanya dengan itulah, demokrasi kita tidak hanya berjalan di atas kertas, tetapi juga terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.
Editor Notonegoro