
PWMU.CO – Setiap manusia lahir dengan potensi yang luar biasa. Dengan akalnya agar berpikir, dengan hati agar merasakan, dan dengan badannya untuk bergerak dan berbuat. Sayangnya, tidak semua manusia kemudian menjadikan kehidupannya sebagai ruang untuk menebar manfaat dan meninggalkan jejak kebaikan. Sebagian sekadar menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa orientasi yang jelas, tanpa kontribusi yang berarti. Maka muncullah dua kutub penting dalam memahami kualitas hidup manusia, yaitu: “manusia biologis” dan “manusia sejarah”.
Istilah ini bukanlah sekadar kategorisasi abstrak, melainkan refleksi atas realita kehidupan modern yang semakin terjebak dalam rutinitas tanpa makna. Banyak manusia hidup hanya sekedar hidup, bangun pagi, bekerja, lalu tidur kembali.
Padahal, hakikat manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifatul fil ard’) adalah menjadi agen perubahan dan pembawa maslahat bagi sesama. Di tengah derasnya arus zaman dan gempuran budaya instan, penting untuk kembali menakar posisi diri “apakah kita sedang menjadi manusia sejarah yang akan dikenang karena kontribusinya”, atau hanya “manusia biologis yang tergerus arus dan dilupakan waktu”?
Fenomena kehidupan modern saat ini menunjukkan adanya pergeseran orientasi hidup manusia. Kemajuan teknologi, ideologi kapitalisme, dan budaya instan telah mengubah cara manusia memaknai eksistensinya. Banyak orang terjebak dalam rutinitas pragmatis, hidup hanya demi kenyamanan pribadi, mengejar materi, status sosial, dan popularitas. Pada saat yang sama melupakan substansi kehidupan yang sesungguhnya, berkontribusi untuk sesama dan meninggalkan amal yang berkelanjutan.
Sebaliknya, dalam sejarah manusia, kita mengenal tokoh-tokoh besar yang hidup sederhana, namun meninggalkan dampak yang luar biasa. Mereka mungkin tidak berumur panjang, tidak bergelimang harta, namun namanya tetap harum hingga kini karena warisan pemikiran, perjuangan, dan kebaikan yang mereka tanamkan. Mereka inilah yang disebut sebagai manusia sejarah.
Pepatah lama mengatakan, “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.” Artinya, nilai hidup seseorang tidak hanya diukur dari seberapa lama ia hidup, tetapi seberapa bermakna hidup yang dijalaninya. Dalam Islam, konsep amal jariyah dan kebermanfaatan menjadi tolok ukur utama keberhasilan hidup seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR Ahmad).
Hal ini menegaskan bahwa manusia ideal bukan hanya hidup secara fisik, tetapi juga yang hidup dalam ingatan dan kebaikan yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan ini, manusia memiliki pilihan: menjadi makhluk yang hanya hidup secara biologis, atau menjadi pribadi yang meninggalkan jejak dalam sejarah peradaban. Manusia biologis hanyalah mereka yang menjalani hidup sebatas rutinitas fisik, tanpa visi dan misi besar. Atau menjadi manusia sejarah yang menyadari tanggung jawab spiritual dan sosialnya. Mereka hidup untuk memberi, membangun, dan menginspirasi. Mereka adalah guru yang menanamkan ilmu, orang tua yang mendidik dengan cinta, pemimpin yang menegakkan keadilan, atau siapa saja yang hidupnya memberi manfaat luas bagi lingkungan dan generasi setelahnya.
Al-Qur’an mengabadikan banyak kisah manusia sejarah sebagai pelajaran hidup, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, hingga para sahabat dan pejuang dakwah lainnya. Allah memuliakan mereka bukan karena kekayaan atau umur panjang, tetapi karena keteguhan iman, ilmu, dan kontribusi mereka bagi umat.
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ
“Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (QS As-Saffat 108)
Dalam dunia pendidikan, dakwah, hingga lingkungan sosial, manusia sejarah dibutuhkan untuk menjaga api perubahan tetap menyala. Mereka adalah motor penggerak peradaban, yang kehadirannya menjadi berkah dan kepergiannya menjadi kehilangan besar.
Hidup yang sekadar hidup
Manusia biologis hanya menjalani hidupnya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar pada umumnya. Yaitu hanya makan, tidur, bekerja, beranak, lalu mati. Ia tidak memiliki arah, visi, dan kontribusi yang nyata terhadap lingkungannya. Ia datang dan pergi tanpa jejak dan kenangan.
Manusia ini hanya mengikuti arus zaman, mengikuti apa yang sedang viral, sibuk dengan rutinitas duniawi, tapi tidak menyadari tujuan hakiki kehidupan. Mereka hidup seperti arus air yang mengalir ke mana pun arahnya tanpa tujuan yang jelas. Tak ada karya, tak ada jejak, tak ada warisan manfaat yang bisa dikenang setelah kepergiannya.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
… اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
“…Mereka hanya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf 179)
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia tanpa kesadaran makna hidup bisa lebih buruk dari binatang, karena tidak menggunakan akal dan hati untuk berpikir serta berkontribusi.
Hidup dengan meninggalkan jejak
Sedang manusia sejarah hidup dengan kesadaran penuh bahwa hidup ini adalah ladang amal dan perjuangan. Ia memahami bahwa kehidupan bukan tentang seberapa lama kita hidup, tapi seberapa banyak manfaat yang kita berikan.
Mereka adalah para tokoh, pejuang, ilmuwan, guru, ulama, dan siapa pun yang meninggalkan jejak amal, karya, dan inspirasi. Hidupnya menjadi terang bagi yang lain, dan namanya tetap harum bahkan setelah wafat.
Jejak yang ditinggalkan menunjukkan bahwa keabadian seorang manusia terletak pada nilai dan warisannya, bukan tentang berapa lama hidupnya. Orang besar bukan hanya dikenal karena umurnya panjang, tapi karena kontribusinya besar. Contoh manusia sejarah adalah Nabi, ulama, pemikir, dan tokoh perubahan seperti Imam Syafii, Ibnu Sina, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya. Mereka dikenang selamanya meski kini telah tiada.
Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, bukan sekadar makhluk yang hidup dan mati. Allah menciptakan manusia dengan tugas mulia, yaitu untuk beribadah, berbuat baik, dan membangun peradaban.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…'” (QS. Al-Baqarah 30).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia bukan makhluk hidup biasa pada umumnya, tetapi merupakan pembaharu atau pembawa perubahan.
Di zaman yang serba cepat ini, memang lebih mudah menjadi manusia biologis. Hanya mengikuti ritme rutinitas, menyibukkan diri dengan urusan duniawi, tanpa berkesempatan untuk memikirkan sesuatu yang hendak diwariskan kelak ketika tiada.
Sesungguhnya setiap orang bisa menjadi manusia sejarah, tidak harus menjadi tokoh besar. Seorang guru yang menginspirasi murid-muridnya, seorang ibu yang mendidik anak-anaknya dengan cinta dan nilai Islam, seorang tetangga yang selalu memberi manfaat di lingkungannya, mereka semua adalah manusia sejarah.
Menjadi manusia sejarah tidak harus menunggu populer atau terkenal, tapi cukup berkontribusi tulus dari peran dan posisi masing-masing. “Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR Muslim). Satu amal kecil yang menginspirasi dan berkesinambungan, bisa menjadi bekal sejarah kebaikan yang terus hidup.
Jadilah manusia sejarah. Hidup bukan hanya untuk makan dan tidur, tapi untuk meninggalkan jejak, karya, dan warisan kebaikan. Jangan hanya terkenal karena nama, tapi karena makna.
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan…” (QS Yasin 12).
Dunia ini tidak kekal, tapi kebaikan akan abadi dalam ingatan dan sejarah. Jangan sekadar menjadi manusia yang hidup karena jantung berdetak. Jadilah manusia yang hidup karena ide, karya, dan pengaruh positif sebagai warisan. Hidup sekali, maka hiduplah yang berarti.(*)
Editor Notonegoro