
PWMU.CO – Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Sidoarjo menggelar Seminar Pra Milad ‘Aisyiyah ke-108 di Auditorium KH Achmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo pada Sabtu (3/5/2025). Acara ini menghadirkan Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin sebagai narasumber.
Seminar yang mengusung tema Nilai-nilai Islam Berkemajuan dan Islam sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam ini dihadiri oleh sekitar 1.400 warga ‘Aisyiyah se-Kabupaten Sidoarjo.
Ditemui sebelum acara, Ketua PDA Sidoarjo, Siti Zubaidah Syafi’i, mengungkapkan bahwa kegiatan ini bekerja sama dengan salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yaitu Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Kabupaten Sidoarjo. Program-program PDA Sidoarjo dijalankan melalui kerja sama dengan beberapa OPD dan memperoleh dukungan pendanaan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo
Sementara itu, Sekretaris PDA Sidoarjo, Ade Eviyanti MKom menyampaikan permohonan maaf atas membludaknya jumlah peserta yang hadir.
“Mohon maaf apabila ada yang tidak mendapatkan tempat duduk atau konsumsi karena keterbatasan dari panitia. Ternyata banyak yang sudah merindukan Pak Din,” ungkapnya.
Dalam pemaparannya, Pak Din, sapaan akrab Dr Din Syamsuddin, menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang tidak perlu diberi embel-embel tambahan, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, waktu, maupun kualitas. Sebab, Islam sudah sempurna (kāmil), menyeluruh (syāmil), dan indah (jamīl).
Menurutnya, ketika Islam dikaitkan dengan dimensi waktu, misalnya Islam abad ke-7, maka akan muncul anggapan tentang masa kejayaan yang terbatas pada periode tertentu. Begitu pula jika dikaitkan dengan dimensi ruang, seperti Islam di Arab Saudi, Islam di Persia, atau Islam di Pakistan, maka hal ini berpotensi membuat pemahaman tentang Islam menjadi sempit dan mengalami reduksi.
“Demikian pula ketika Islam dikaitkan dengan kualitas, seperti istilah Islam berkemajuan. Hal ini berisiko mereduksi makna Islam itu sendiri, karena secara implisit menimbulkan dikotomi dengan Islam yang mundur,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Islam Berkemajuan merupakan gagasan KH Ahmad Dahlan yang dikembangkan dalam Muhammadiyah sebagai wujud Islam yang relevan dengan perkembangan zaman. Ia juga mengutip pendapat seorang ulama dari Damaskus pada tahun 1938 yang menyatakan bahwa Islam adalah shāliḥ li kulli zamān wa makān, yang berarti cocok untuk setiap waktu dan tempat. Artinya, Islam mampu menjawab tantangan zaman di berbagai konteks ruang dan waktu.
“Saat ini, perkembangan teknologi informasi, termasuk kehadiran Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI), memungkinkan manusia mengetahui berbagai hal dengan lebih cepat dan luas. Di sisi lain, muncul pula gagasan dari tokoh-tokoh dunia Islam, seperti Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, yang menulis buku berjudul Islam Hadhari,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa nilai-nilai utama dalam Wawasan Islam Berkemajuan telah ditetapkan oleh Muhammadiyah melalui dokumen Risalah Islam Berkemajuan yang dirumuskan oleh Prof Dr A Syafiq Mughni dalam Muktamar ke-48 tahun 2022 di Surakarta.
“Inti dari Islam Berkemajuan adalah bagaimana pemahaman kita terhadap ajaran Islam mampu mendorong kemajuan dalam kehidupan, baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu, agama dan keberagamaan tidak boleh berhenti pada aspek yang bersifat ritualistik semata. Ibadah seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan wirid adalah jalan yang belum selesai,” imbuhnya.
Selanjutnya, Pak Din mengajak untuk menghayati makna yang terkandung dalam setiap ibadah.
“Setelah shalat, salam ke kanan dan ke kiri merupakan bentuk deklarasi atau proklamasi seorang hamba untuk mewujudkan makna doa ‘warzuqni’ yang artinya Ya Allah, berikan aku rezeki, dengan cara semangat kerja dan etos usaha dalam mencari nafkah. Sebab, Islam Berkemajuan menuntut pemeluknya untuk menjadi pribadi yang produktif dan sejahtera. Sejak dahulu, warga Muhammadiyah dikenal aktif dalam berbagai bidang usaha, seperti para pengrajin batik di Pekajangan dan Pekalongan, maupun pengusaha dodol di Garut,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dalam kajian ilmu Perbandingan Agama, terdapat dua jenis agama yakni Ritual Religion dan Ethical Religion. Ritual Religion atau agama ritual adalah jenis agama yang hanya menekankan pada pelaksanaan ritual ibadah, namun belum menyentuh aspek etika atau akhlak. Sementara itu, Islam termasuk dalam kategori Ethical Religion, karena membawa misi kerasulan untuk menyempurnakan akhlak.
“Bagaimana beragama dapat melahirkan etika dan akhlak, seperti kerja keras, menghargai waktu, dan sebagainya. Banyak buku mencatat bahwa kemajuan Eropa salah satunya dipengaruhi oleh Etika Protestan (etika dalam ajaran agama Protestan), yang menekankan nilai-nilai seperti kerja keras, kedisiplinan, menghargai waktu, dan hidup hemat. Di Timur, dikenal pula Etika Konfusianisme yang menekankan kerja keras dan keuletan. Pedagang Tionghoa, misalnya, dikenal ulet dalam berdagang, giat melakukan ekspansi usaha, menghargai waktu, dan hidup hemat. Islam bahkan mendorong nilai-nilai kemajuan ini dengan lebih kuat dan tegas,” sambungnya.
Menurut Pak Din, bekerja selalu dirangkaikan dengan iman. “Innaladziina aamanu wa ‘amilus shaalihat” yang artinya sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Demikian pula soal waktu, tidak ada agama dengan kitab sucinya yang memberikan perhatian begitu besar terhadap waktu seperti halnya Islam melalui al-Quran. Allah SWT bahkan bersumpah atas nama waktu dalam beberapa ayat seperti wal-‘ashr (demi masa), wal-lail (demi malam), wal-fajr (demi fajar), wad-duha (demi waktu dhuha), wasy-syams (demi matahari), dan lain-lain. Semuanya menyampaikan pesan yang sama: manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
“Namun ironisnya, kita justru dikenal dengan istilah rubber time atau kebiasaan mengulur-ulur waktu. Kita juga masih cenderung boros, misalnya dalam hal penggunaan perhiasan berlebihan, tas bermerek, dan gaya hidup konsumtif lainnya,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam diri manusia terdapat warisan benih-benih dari 99 Asmaul Husna dalam batas-batas kemanusiaan. Misalnya, sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim tercermin dalam kemampuan manusia untuk memiliki kasih sayang. Kasih sayang tersebut seharusnya disebarluaskan sebagai wujud dari misi rahmatan lil ‘alamin, bahwa Islam adalah agama yang membawa pesan perdamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam.
“Tatbiq atau aplikasi Islam berkemajuan tidak hanya sebatas peningkatan kuantitas ibadah, tetapi juga harus memperhatikan kualitasnya. Nilai-nilai ibadah itu harus menyatu dalam diri kita. Misalnya, saat kita mengucapkan doa Rabbighfirli (Ya Tuhan, ampunilah aku), maka seharusnya kita menjadi pribadi yang mampu menghindarkan diri dari segala bentuk pelanggaran. Ketika berdoa Warzuqni (berilah aku rezeki), maka hal itu harus diiringi dengan peningkatan etos kerja, sikap optimis, dan menjauhkan diri dari kemalasan serta gaya hidup hedonis,” ujarnya.
Di akhir ceramahnya, ia berpesan agar umat Islam meningkatkan etos kerja dengan semangat dalam beragama (al-ghirah ‘ala ad-din). Semangat itu dapat diwujudkan melalui prinsip: Jika orang lain bisa, maka saya harus bisa.
“Salah satu contoh nyata semangat ini ditunjukkan oleh almarhumah Ketua PDA Ponorogo, yang pernah mendirikan organisasi Himpunan Janda Muslimah (HJM). Organisasi ini memberikan santunan kepada para anggotanya melalui sistem subsidi silang,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan bahwa HJM merupakan organisasi yang unik dan bahkan disebut-sebut sebagai satu-satunya di dunia. Konon, inisiatif ini muncul sebagai bentuk semangat untuk tidak kalah dengan perempuan Katolik yang telah lebih dahulu menghimpun para janda dalam sebuah organisasi serupa. (*)
Penulis Sunarsih Editor Ni’matul Faizah