
Penulis Nashrul Mu’minin (Content Writer, Yogyakarta)
PWMU.CO – Di tengah gemerlap program “Merdeka Belajar” yang digaungkan pemerintah, nasib guru honorer masih terperangkap dalam labirin ketidakpastian. Tahun 2025, ironi itu kian nyata: mereka mengajar dengan hati, tetapi hidup dalam bayang-bayang kesenjangan sistem pendidikan yang dualistik. Gaji tak sebanding beban kerja, tunjangan yang hanya mimpi, dan status yang tak kunjung jelas—inilah potret suram yang bertahan puluhan tahun. Padahal, Allah SWT telah berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin’.” (QS. At-Taubah: 105).
Ayat ini seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap kerja keras, terutama dalam mencerdaskan anak bangsa, layak dihargai secara adil. Namun, realitanya, guru honorer justru kerap diperlakukan sebagai second-class educator.
Mereka mengajar hingga 40 jam seminggu, tetapi penghasilannya tak mencapai setengah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Di Kabupaten Bandung, misalnya, masih ada guru honorer yang digaji Rp 500.000 per bulan—angka yang jauh dari kata layak untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi menopang keluarga.
Pemerintah memang mengklaim telah meningkatkan alokasi anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN, tetapi nyatanya, dana itu seperti tak pernah menyentuh kantong guru honorer. Sistem pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dijanjikan sebagai solusi, justru penuh dengan seleksi yang diskriminatif. Banyak guru honorer senior gagal lolos karena tes kompetensi yang lebih mengutamakan hafalan teori ketimbang pengalaman mengajar puluhan tahun.
Allah SWT mengingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’: 135).
Ayat ini tegas mengecam sistem yang tidak adil. Jika negara benar-benar serius memajukan pendidikan, seharusnya tidak ada lagi dikotomi antara guru honorer dan PNS. Setiap pendidik yang berkontribusi sama besar, harus diberi hak yang setara.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Mereka disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi dalam praktiknya, banyak guru honorer yang hidup dalam tekanan ekonomi. Tak sedikit yang harus mencari pekerjaan sampingan sebagai ojek online, pedagang kecil, atau buruh serabutan hanya untuk menyambung hidup. Ironisnya, di saat yang sama, mereka tetap harus mempersiapkan materi ajar, menilai tugas, dan memenuhi administrasi sekolah yang menumpuk.
Rasulullah ﷺ bersabda
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini jelas menekankan pentingnya memberikan hak pekerja secara tepat waktu dan layak. Namun, banyak guru honorer justru harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima gaji yang jumlahnya tak seberapa.
Setiap tahun, menteri pendidikan berganti, janji-janji pun berubah. Dari “akan diangkat jadi PPPK” hingga “akan ada tunjangan khusus”, tetapi realisasinya selalu tertunda. Di tahun 2025, masalah ini belum juga tuntas. Bahkan, beberapa daerah justru mengurangi alokasi honor guru karena anggaran yang dipangkas.
Firman Allah SWT
يَا أَُهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
Menggaji guru honorer dengan upah tak manusiawi sama saja dengan memakan hak mereka secara batil.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kualitas pendidikan Indonesia akan semakin terpuruk. Guru honorer yang seharusnya fokus mengajar, justru terdistraksi oleh urusan ekonomi. Akibatnya, pembelajaran menjadi sekadar formalitas, bukan proses pencerdasan yang bermakna.
Allah SWT berfirman
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11).
Perubahan harus dimulai dari kesadaran bersama bahwa guru honorer adalah ujung tombak pendidikan. Pemerintah, masyarakat, dan semua pihak harus bergerak untuk memperjuangkan nasib mereka.
Saatnya Negara Hadir untuk Guru Honorer
Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik. Guru honorer bukan sekadar tenaga pengganti, tetapi pilar pendidikan yang harus diperhatikan. Jika negara benar-benar ingin memajukan pendidikan, maka mulai sekarang, berikanlah hak-hak mereka secara adil.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Sudah waktunya kita bersatu memperjuangkan keadilan bagi guru honorer. Karena tanpa mereka, tidak ada masa depan cerah bagi generasi mendatang. (*)
Editor Amanat Solikah