
PWMU.CO – “Karena itu kutitipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya.”
Di tengah arus zaman yang dinamis, pesan Kiai Haji Ahmad Dahlan tersebut merupakan suara nurani yang sarat makna, sekaligus amanat sejarah yang tidak lekang oleh waktu. Wasiat itu tidak hanya sebatas permohonan dan harapan, lebih dari itu adalah wasiat ideologis yang mencerminkan cintanya yang mendalam KH Ahmad Dahlan terhadap Persyarikatan Muhammadiyah yang dirintisnya dengan tetesan keringat, air mata, dan doa.
Muhammadiyah, bagi KH Ahmad Dahlan bukan sekadar organisasi untuk berdakwah. Melalui Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan juga menanamkan ideologi yang berupa sistem nilai, gerakan pemikiran, dan etika perubahan yang melintasi zaman. Muhammadiyah yang beliau dirikan pada 1912 itu merupakan wujud konkret dari ajaran Islam yang membumi. Gerakan Islam yang berpijak pada semangat Al-Ma’un — melalui bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan, dan kemanusiaan.
Pesan “Kutitipkan Muhammadiyah ini…” muncul di saat akhir hayat KH Ahmad Dahlan. Ketika kondisi fisiknya yang kian melemah — meski semangat berdakwahnya yang tampak padam — KH Ahmad Dahlan mengumpulkan kader-kader terdekatnya untuk menyampaikan amanah terakhirnya. Beliau memang tidak meninggalkan warisan harta atau tahta. Tapi uang beliau wariskan adalah Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi dakwah dan gerakan tajdid.
Makna ‘Titipan’ dalam Pesan KH Ahmad Dahlan
Kata “titip” dalam konteks pesan tersebut bukan sekadar ungkapan personal, tetapi mengandung beban tanggung jawab kolektif. Titipan mengandung makna sebagai sesuatu yang hakekatnya bukan barang milik pribadi sepenuhnya, jadi harus dijaga dengan penuh amanah, integritas, dan kecintaan. KH Ahmad Dahlan menjadikan Muhammadiyah sebagai amanah besar bagi umat dan bangsa.
Karena itu, dalam konteks ini KH Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa Muhammadiyah akan tetap mampu bertahan bila semangat ikhlas, tajdid, dan sosial sebagaimana saat awal Muhammadiyah berdiri.
KH Ahmad Dahlan merupakan sosok yang memiliki kepribadian zuhud. Beliau mendirikan Muhammadiyah bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok. Bahkan, saat beliau wafat pun tidak meninggalkan harta benda. Wasiat “Kutitipkan Muhammadiyah….” Karena kesadaran bahwa pada saatnya diri akan pergi selamanya, tapi cita-cita pencerahan harus tetap menyala.
Tanggung jawab kader Muhammadiyah
Wasiat KH Ahmad Dahlan semakin penting dan relevan di masa kini. Muhammadiyah kini telah berkembang pesat dan menjadi gerakan yang berpengaruh. Dengan ribuan amal usaha — mulai bidang pendidikan hingga bidang Kesehatan — yang menyebar di seluruh Nusantara, dan sebagian di negeri jiran.
Hanya, tidak ada jaminan bahwa dengan besar dan berkembangnya sebuah organisasi seperti Muhammadiyah, secara otomatis cita-cita organisasi bisa tegak terjaga. Bukan tidak mungkin, semakin besar dan berkembangnya organisasi, justru semakin besar pula godaannya. Baik berkaitan dengan kekuasaan, popularitas, kepentingan politik, bahkan korupsi moral.
Wasiat KH Ahmad Dahlan ibarat alat uji tentang keikhlasan, bagi kita masih bersemangat menjaga jiwa Muhammadiyah sebagaimana semangat kala awal Muhammadiyah berdiri? Apakah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bertumbuh kembang dengan kekuatan nilai etik Muhammadiyah, atau sekedar tumbuh dalam jumlah/angka? Apakah pengurus dan kader Muhammadiyah hari ini masih memegang teguh semangat Al-Ma’un, atau telah terjebak pada formalitas simbolik?
Menjaga sepenuh hati
Tentunya wasiat KH Ahmad Dahlan berkaitan dengan hal administratif atau struktural semata. Permintaan dari KH Ahmad Dahlan harapannya diterima “sepenuh hati” — penerimaan yang melibatkan energi spiritual, emosional, dan ideologis. Artinya, menjaga Muhammadiyah bukan karena ada gaji atau ada jenjang karier. Menjaga Muhammadiyah dengan keyakinan bahwa Muhammadiyah merupakan ladang amal dan jalan dakwah.
“Sepenuh hati” juga bermakna adanya kerelaan berkorban — baik dalam hal waktu, pikiran, bahkan materi — untuk memajukan gerakan ini tanpa pamrih. Sepenuh hati juga berarti tidak rela jika Muhammadiyah terdistorsi oleh syahwat politik atau kepentingan sesaat.
KH Ahmad Dahlan tidak sekedar memimpikan Muhammadiyah untuk tetap bertahan, tetapi juga harus terus berkembang. Ini menegaskan tentang visi KH Ahmad Dahlan yang melangkah jauh ke depan. Hal ini selaras dengan kepribadian Muhammadiyah yang tidak statis atau stagnan. Muhammadiyah hidup secara dinamis, adaptif, dan berkemajuan.
Ada tiga dimensi perkembangan bagi Muhammadiyah, yaitu: dimensi kuantitatif yang ditandai dengan bertambahnya amal usaha dan cabang; dimensi kualitatif yang berwujud meningkatnya kualitas kader, kualitas keilmuan, dan kualitas spiritualitas; dan dimensi kontributif dengan berdampaknya terhadap kehidupan umat, bangsa, dan dunia.
Wasiat KH Ahmad Dahlan harus menjadi obor dari satu generasi ke generasi berikutnya. Siapa pun yang mengaku sebagai bagian dari Muhammadiyah, tidak cukup hanya dengan mengaku berafiliasi. Mengaku sebagai bagian dari Muhammadiyah, hakekatnya adalah siap menjadi penjaga cahaya pergerakan — yang terus menerangi jalan gerakan ini dengan cinta, keikhlasan, dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam yang mencerahkan.
Editor Notonegoro