
PWMU.CO – setiap detik kehidupan, manusia senantiasa berhadapan dengan dua kekuatan besar, yaitu: “panggilan spiritual yang menuntun kepada ketundukan pada Ilahi”, dan “tarikan duniawi yang menggoda kepada pemujaan terhadap materi”. Ibadah Idul Qurban — yang setiap tahun hadir melalui event semarak Idul Adha — bukan sekadar ritual penyembelihan hewan.
Idul Qurban adalah simbol perjuangan batin, perlawanan terhadap hawa nafsu, dan wujud konkret ketundukan seorang hamba kepada Rabb-nya. Di sinilah qurban menjelma menjadi pesan abadi tentang bagaimana manusia semestinya mengelola keinginan dunia demi meraih ridha Tuhan.
Bukan sekadar daging dan darah
Dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini merupakan sebuah penegasan atau deklarasi agung dari Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa nilai dari ternak qurban bukan terletak pada hewan yang disembelih, melainkan pada nilai spiritual yang menyertainya, yaitu: keikhlasan, pengorbanan, dan keberanian menundukkan ego serta nafsu dunia.
Dalam dinamika kehidupan duniawi yang semakin materialistik, kemauan untuk berkurban menjadi simbolisasi sikap perlawanan terhadap kecenderungan manusia modern yang hanya mengejar kepemilikan dan kenikmatan sesaat (hedonism).
Apa yang telah terkisah dalam teladan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, merupakan narasi agung yang tak lekang oleh zaman. Ketika perintah Allah itu datang agar Nabi untuk menyembelih putranya (Ismail), maka Nabi Ibrahim pun tidak mempertanyakan, tidak menawar, dan tidak menunda. Ismail pun, dalam usia yang masih sangat belia pun menjawab dengan keteguhan hati yang menakjubkan. Apa jawaban Ismail saat itu?
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Kepasrahan Ismail dan ketaatan Ibrahim telah menjadi cerminan atau teladan bahwa berqurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, melainkan menyembelih segala sesuatu yang menghalangi manusia dari ketaatan total kepada Allah, yaitu berupa cinta dunia, ego, ambisi material, dan ketakutan kehilangan.
Nilai pengorbanan
Dunia modern terkadang lebih mendorong manusia untuk lebih mencintai kepemilikan, membenci kehilangan, dan menuhankan kenyamanan. Dalam atmosfer seperti ini, qurban datang sebagai nasihat spiritual agar kita lebih menguatkan daya tolak terhadap dominasi nafsu dunia. Ketika seseorang rela menyisihkan hartanya demi membeli hewan qurban bukan untuk gengsi, tetapi karena perintah Ilahi, maka ia sedang membuktikan bahwa dunia tidak menguasainya.
Sebaliknya, justru kita yang harus lebih bisa menguasai dunia. Karena itu, amalan qurban menjadi sangat mulia karena di dalamnya terkandung nilai pengorbanan, keberanian menolak cinta dunia, dan ketundukan penuh kepada Allah.
Ibadah qurban juga memiliki pesan sosial yang mendalam. Kurban mengajarkan bahwa kekayaan bukan untuk disimpan sendiri, tetapi untuk dibagi. Bahwa harta tidak abadi, dan sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat. Qurban menjadi momentum menumbuhkan empati, mengikis egoisme, dan menanamkan solidaritas. Daging yang dibagikan bukan hanya memenuhi kebutuhan pangan semata, tapi juga menyampaikan pesan cinta, kasih sayang, dan persaudaraan.
Laksana pisau tajam untuk menyembelih hewan qurban, demikian pula seorang mukmin juga harus mampu mengasah tekadnya. Yaitu tekad untuk menyembelih egonya sendiri, kesombongan, keangkuhan, nafsu kekuasaan, dan rakusnya terhadap dunia. Dalam konteks inilah qurban menjadi simbol perlawanan. Jadi, qurban bukan sekadar ritual atau upacara keagamaan, tapi juga sebagai revolusi jiwa. Sebuah deklarasi bagi seorang Muslim bukan dirinya bukan hamba dunia, tapi merupakan hamba Rabb semesta alam.
Setiap tetes darah hewan qurban yang jatuh ke bumi menjadi saksi atas kemenangan ruhani seorang hamba. Kemenangan melawan cinta dunia, kemenangan atas keterikatan materi, dan kemenangan menuju kebebasan jiwa dalam penghambaan yang murni.
Di tengah masyarakat yang lebih sering menilai manusia dari segi kepemilikan, qurban hadir untuk menyadarkan bahwa nilai sejati manusia terletak pada ketakwaannya. Martabat manusia bukan pada harta dan atau jabatannya, tapi lebih pada seberapa besar ia berani melawan nafsunya demi Tuhannya.(*)
Editor Notonegoro