
PWMU.CO – “Saya punya ribuan teman di media sosial, tapi tak satu pun yang bisa saya ajak bicara saat hati ini terasa kosong.” Kalimat ini bukan kutipan dari novel atau drama, melainkan keluhan nyata dari seorang mahasiswa di Jakarta. Sangat mungkin sebagian kita juga mengalami hal yang sama. Jadi mahasiswa itu bukanlah satu-satunya orang. Saat era koneksi digital begitu melimpah dan banyak memberi kemudahan, manusia justru teralienasi secara sosial dan emosional. Seseorang meski semakin sering terkoneksi, tapi justru semakin jarang merasa terhubung.
Fenomena ini para peneliti menyebutnya sebagai loneliness epidemic — epidemi kesepian. The Lancet (2023) mencatat bahwa satu dari tiga orang dewasa di Asia Tenggara mengalami kesepian kronis, termasuk di Indonesia. Padahal, negeri ini adalah salah satu pengguna media sosial tertinggi di dunia.
Laporan We Are Social (2024) menyebutkan bahwa 212 juta warga Indonesia aktif di media sosial. Namun, apakah “terhubung” secara daring menjamin kehidupan sosial mereka sehat? Inilah paradoks zaman digital: ketika jumlah ‘teman’ dunia maya meningkat pesat, tapi ikatan sosial yang bermakna justru kian menyusut. Di balik layar ponsel yang terlihat sibuk, banyak orang yang justru merasa sendiri.
Modern yang sunyi
Dalam ilmu sosiologi, kesepian bukan sekadar persoalan psikologis. Kesepian menjadi gejala dari perubahan sosial yang mendalam. Sosiolog klasik Emile Durkheim pernah menyebut istilah anomie, yaitu keadaan di mana norma dan keterikatan sosial melemah karena modernisasi. Masyarakat Indonesia yang semula komunal (gemeinschaft) kini berubah menjadi individualistik (gesellschaft). Ironisnya, perubahan ini berlangsung sangat cepat dan sebagian besar orang bahkan tidak siap.
Robert Putnam dalam bukunya Bowling Alone (2000) menunjukkan bagaimana modal sosial kita, yakni kepercayaan, solidaritas, dan jaringan sosial, telah mengalami kemunduran drastis karena masyarakat makin terfragmentasi. Sementara itu, Sherry Turkle dalam Alone Together (2015) menggambarkan bagaimana teknologi menciptakan “hubungan palsu” yang dangkal, tanpa empati.
Survei yang dilakukan oleh YouGov pada tahun 2023 lalu menunjukkan angka 45% anak muda Asia merasa kesepian meski aktif di media sosial. Riset Univesitas Indonesia dan Alvara Research tahun 2024, menyebutkan 62% milenial di Indonesia mengaku punya banyak followers, tapi sedikit teman dekat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, yang tingkat urbanisasinya tinggi, juga tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kesepian tertinggi.
Like dan Isolasi
Media sosial, alih-alih memperkuat hubungan sosial, sering kali sekedar memberi ilusi koneksi. Interaksi digital yang penuh emoji, like, dan komentar tak selalu memiliki makna. Sebagian besar bahkan merupakan relasi parasosial: satu arah, permukaan, dan tidak disertai kedekatan emosional.
Dalam Katadata (2024), 70% Gen-Z Indonesia merasa lebih nyaman mencurahkan isi hati di media sosial daripada ke keluarga. Artinya, komunikasi digital justru menggantikan ruang-ruang emosional yang semestinya diisi oleh relasi nyata.
Media sosial memang sengaja dirancang untuk membuat penggunanya ketagihan. Fitur notifikasi dan umpan balasan menciptakan efek dopamine — yakni rasa senang sesaat yang membuat kita ingin terus kembali. Namun, kepuasan instan ini tak sanggup menggantikan kedalaman obrolan tatap muka.
Kota-kota yang membungkam
Selain teknologi, faktor urbanisasi turut memperparah kesepian. Data BPS tahun 2023 mencatat bahwa 56% penduduk Indonesia kini tinggal di kota. Di tengah hiruk pikuk urban, banyak orang hidup sendiri, di kamar kos, apartemen studio, atau rumah kontrakan. Kesibukan kerja, waktu tempuh yang panjang, dan kelelahan membuat interaksi sosial kian sulit dijaga.
Fenomena generasi kamar, anak muda yang mengurung diri dalam kamar, hampir tanpa interaksi sosial, kini kian mewabah di Indonesia, mirip tren hikikomori di Jepang. Mereka tidak merasa nyaman di dunia luar, tapi juga tidak menemukan kehangatan yang cukup di dunia digital.
Komunitas tradisional seperti arisan, pengajian, atau karang taruna pun mulai kehilangan fungsinya. Menurut penelitian LPEM UI (2024), partisipasi dalam organisasi masyarakat menurun 40% dalam sepuluh tahun terakhir. Mall menggantikan alun-alun, tetapi tidak menyediakan ruang untuk membangun ikatan sosial yang autentik.
Dari kesehatan mental ke disintegrasi sosial
Dampak dari epidemi kesepian tidak main-main. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2024), kesepian berkorelasi dengan meningkatnya gangguan kecemasan (35%) dan depresi (22%). Komunitas Into The Light bahkan mencatat bahwa kesepian menjadi pemicu utama bunuh diri pada remaja urban di Indonesia.
Lebih jauh, kesepian juga melemahkan kohesi sosial. Masyarakat menjadi apatis. Kita tak lagi mengenal tetangga sendiri, tak lagi terlibat dalam kegiatan lingkungan, dan tak lagi percaya pada orang sekitar. Dalam kekosongan sosial itu, orang mencari “kelompok” pengganti lewat politik identitas, kelompok daring, atau ideologi sempit. Disintegrasi sosial menjadi harga mahal dari koneksi digital yang dangkal.
Mengembalikan dimensi kemanusiaan
Masalah yang sistemik ini perlu mendapat penyelesaian secara sistemik pula. Pertama, membuat gerakan offline first. Di Yogyakarta, gerakan “No Phone Day” oleh komunitas pemuda setempat terbukti mengurangi kecemasan sosial. Ruang publik seperti taman kota, trotoar yang nyaman, dan zona ngobrol bebas gadget dapat menjadi tempat lahirnya kembali interaksi nyata. Teknologi tidak harus dihapuskan, tapi harus ditempatkan secara bijak.
Kedua, membuat kebijakan publik yang pro-sosial. Pemerintah harus memperluas program Desa Ramah Sosial yang fokus membangun komunitas dan solidaritas lokal. Pajak atas perusahaan teknologi juga dapat dipertimbangkan, untuk mendanai program kesehatan mental dan ruang sosial baru. Inggris sudah memulai langkah ini dengan membentuk Kementerian Kesepian sejak 2018.
Ketiga, teknologi yang mendorong pertemuan nyata. Startup lokal seperti “Sapa Tetangga” mencoba menjembatani warga sekitar untuk saling mengenal dan berinteraksi. Ini sebagai contoh bahwa teknologi sesungguhnya untuk memperkuat ikatan sosial, bukan justru melemahkannya.
Dan keempat, pendidikan sosial dan emosional. Sekolah perlu membekali murid dengan kurikulum digital well being — kesadaran tentang bahaya media sosial terhadap kesehatan mental dan pentingnya empati. Anak-anak perlu diajarkan bahwa pertemanan sejati tidak sekadar komentar di Instagram, tetapi hadir saat kita dibutuhkan.
Merekat ulang yang terlanjur retak
Kesepian adalah jeritan sunyi dari dunia yang sibuk. Ketika teknologi membuat kita terus sibuk melihat layar, kita lupa melihat wajah orang-orang di sekitar kita. Kita mungkin viral di TikTok, tapi kosong dalam dunia nyata. Bangsa yang sehat bukan hanya yang canggih secara digital, tetapi juga kuat secara sosial. Membangun koneksi antar manusia bukan tugas satu individu, tapi tanggung jawab bersama — dari pemerintah, sekolah, komunitas, hingga kita sendiri.
Sudah waktunya kita mengembalikan yang hilang — yakni ruang untuk saling menyapa, waktu untuk saling mendengar, dan kehadiran yang nyata di dunia yang semakin maya.(*)
Editor Notonegoro