
Oleh: Alfi Saifullah – Penulis kolom, buku biografi, dan sejarah
PWMU.CO – Meskipun Islam adalah agama tauhid, dalam kehidupan sosial umat, masih sering kita temui sikap-sikap yang menggiring pada pemahaman agama yang sempit, bahkan cenderung ekstrem.
Saya teringat percakapan dengan seorang sahabat bernama Slamet. Ia kerap mengunggulkan kemiskinan. Menurutnya, Islam identik dengan kemiskinan. Ia berkata bahwa Nabi sering mengganjal perutnya dengan batu karena tidak menemukan makanan. Bahkan, dalam riwayat Sayyidah Aisyah disebutkan bahwa dapur Nabi pernah tidak menyala selama 40 hari. Ia juga menyitir hadis riwayat Ibnu Umar untuk memperkuat pandangannya.
معشر الفقراء ألا أبشركم أن فقراء المؤمنين يدخلون الجنة قبل أغنيائهم بنصف يوم خمس مائة عام
Artinya: Wahai orang-orang faqir, maukah kuberi kabar gembira kepada kalian? Sesungguhnya, orang-orang beriman yang fakir akan masuk surga terlebih dahulu setengah hari yang setara 500 tahun lamanya daripada orang kaya (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Lantas saya menjawab, ‘Tidak demikian.’ Namun, saya perlu mengatakan bahwa pemahaman seperti itu, betapapun baik niatnya, merupakan bentuk pembacaan yang parsial. Islam memang menaruh empati dan solidaritas yang tinggi kepada kaum miskin, tetapi bukan berarti menjadikan kemiskinan sebagai sesuatu yang ideal.
Faktanya, meskipun terdapat hadis-hadis tersebut, Sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Nabi yang dikenal sangat kaya. Keduanya termasuk golongan hartawan, namun kekayaan tidak menghalangi mereka untuk taat kepada Allah. Bahkan, keduanya termasuk dalam kelompok Al-Mubasyiruna bil Jannah, yaitu sahabat-sahabat yang dijanjikan masuk surga.
Bahkan terdapat hadits yang berbunyi, Kadal faqri ayyakuna kufri (kadang kemiskinan dekat dengan kekufuran). Nabi juga mengajari kita doa terhindar dari kefakiran dan kekufuran, “Allahumma inni a’udzu bika minal kufri wal faqri” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kekufuran dan kefakiran) (HR. Abu Dawud).
Meski harta bukan satu-satunya unsur penting, tidak bisa dipungkiri bahwa membangun masjid, pesantren, sekolah, dan berbagai instrumen dakwah lainnya memerlukan harta. Itu adalah sebuah keniscayaan. Islam sendiri telah mengatur urusan harta secara rinci melalui zakat, infak, dan fikih muamalah lainnya. Islam juga menempatkan setiap orang sesuai dengan kondisi sosialnya masing-masing.
Yang kaya harus bersyukur, yang miskin bersabar. Yang kaya menjadi muzakki, yang miskin mustahiq. Jangan dibolak-balik, karena dapat merusak tatanan. Kekayaan tidak menghapus ketulusan, dan kemiskinan pun tidak otomatis mengangkat derajat seseorang jika tidak disertai kebersihan hati. Islam tidak menjadikan kemiskinan sebagai cita-cita. Ia adalah kondisi, bukan prinsip.
Maka parameter utama dalam Islam bukan terletak pada miskin atau kayanya seseorang, tetapi sejauh mana bertakwa dan memberi manfaat kepada sesama. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Suatu hari, saya berbincang dengan Azis, sahabat satu majelis ilmu. Ia sangat membenci politik, menganggap para politisi sebagai sekumpulan manusia yang kehilangan moral. Ia menyebut mereka pendusta, pembohong, dan koruptor. Sekali lagi, saya tidak sepakat. Saya berkata kepadanya, ‘Tidak demikian.’ Kekuasaan adalah alat, ia bisa digunakan untuk kebaikan maupun keburukan, tergantung siapa yang memegangnya dan untuk tujuan apa. Seperti halnya pisau, bermanfaat di tangan seorang koki, tetapi bisa berbahaya di tangan penjahat.
Seorang politisi, dengan satu goresan tanda tangan, bisa menutup lokalisasi keesokan harinya dan menggantinya dengan sebuah masjid. Apa yang selama bertahun-tahun didakwahkan oleh para dai, bisa terwujud hanya melalui satu kebijakan.
Ketika Sayyidina Umar bin Khattab menaklukkan Persia, ia tidak hanya memperluas wilayah, tetapi juga membuka jalan bagi konversi keyakinan dari Majusi menjadi Islam. Demikian pula berdirinya Kesultanan Demak menjadi pintu gerbang penyebaran Islam di tanah Jawa. Bukan karena politik lebih sakral, tetapi karena pengaruh kekuasaan itu nyata.
Islam tidak menafikan politik. Nabi Muhammad adalah pemimpin spiritual sekaligus kepala negara. Sejarah Khulafaur Rasyidin menjadi bukti nyata tentang praktik kekuasaan yang adil dan berpihak kepada rakyat. Bahkan, Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah telah merumuskan teori politik dalam bingkai fikih. Hal yang sama juga dilakukan oleh para ulama lainnya, seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah As-Syar’iyyah.
Dalam Islam, kekuasaan bukanlah sesuatu yang tabu. Ia adalah bagian dari peradaban. Yang menjadi persoalan bukan kekuasaannya, melainkan moralitas politik. Kekuasaan menjadi hina ketika disalahgunakan oleh manusia. Politik tanpa akhlak adalah bencana, namun agama yang tidak menyentuh realitas politik seringkali hanya menjadi pelarian dari tanggung jawab.
Saya yakin bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Islam datang untuk menyapa semua makhluk, bukan hanya orang miskin, politisi, atau orang kaya seperti yang sudah dicontohkan tadi, tetapi juga petani, nelayan, polisi, akademisi, jurnalis, bahkan para buruh. Bahkan makhluk yang tak kasat mata, hewan, dan tumbuhan sekalipun.
Ibadah tidak melulu soal shalat sunnah di masjid sambil memutar-mutar tasbih, meskipun itu sangat baik. Ibadah memiliki makna yang luas, sebanyak profesi yang dijalani hamba-Nya, selama tetap berada dalam koridor syariat. Saya teringat sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الحكم يدور مع العلة المأثورة وجودا وعدما
Hukum berputar beserta ‘illatnya (alasan), ada dan tiada.
Maka dari itu, Islam bukanlah menara gading yang tak tersentuh. Ajarannya bersifat fleksibel dan menyentuh semua aspek kehidupan. Sempitnya pemikiran kita yang membuat kemuliaan hanya dinilai dari satu sektor saja. Padahal, dunia ini bergerak karena kerja banyak orang dengan peran masing-masing. Oleh karena itu, tidak perlu ada persaingan yang merugikan, karena tidak ada yang serupa. Yang terpenting adalah mengerjakan yang terbaik di posisi masing-masing.
Ibadah utama bagi seorang polisi adalah menciptakan rasa aman di masyarakat dari gangguan kejahatan. Seorang hakim menjalankan tugasnya dengan menegakkan hukum seadil-adilnya. Para ilmuwan melakukan penelitian yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ibadah seorang petani adalah menanam dan merawat tumbuhan dengan baik. Demikian pula, setiap profesi memiliki bentuk ibadahnya masing-masing.
Ini bukanlah relativisme, melainkan penempatan peran yang tepat. Karena Islam adalah sistem nilai yang fleksibel, adaptif, dan dinamis, memberi ruang bagi manusia untuk berperan sesuai potensi dan kebutuhan zamannya. Inilah Islam yang adil dan moderat. Islam bukan hanya mengajarkan cara bersujud, tetapi juga cara bertani, berdagang, memimpin, meneliti, menulis, dan mengelola dunia ini dengan adil dan bijaksana.
Di tangan orang-orang seperti inilah Islam akan terus hidup sebagai cahaya bagi seluruh alam, minaz-zulumati ila an-nur. (*)
Editor Ni’matul Faizah