
Penulis Nashrul Mu’minin – Content Writer, Yogyakarta
PWMU.CO – Dunia maya kembali diguncang oleh kabar yang menyayat nurani demokrasi. Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB), berinisial Dina (21), ditangkap oleh aparat kepolisian usai membuat meme satir yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Meme tersebut, yang dimaksudkan sebagai candaan ringan dalam grup WhatsApp kampus, menampilkan keduanya dalam konteks “Duel Capres 2029: Siapa yang Lebih Kuat Minum Kopi?”. Meskipun terkesan jenaka dan tidak bermuatan kebencian, meme itu justru dilaporkan sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara.
Pasal 45A ayat (1) UU ITE juncto Pasal 310 KUHP menjadi dasar penangkapan Dina. Hal ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, terutama karena UU ITE dianggap memuat pasal-pasal karet, seperti Pasal 27 ayat (3), yang kerap digunakan untuk membungkam kritik publik. Data dari Alliance of Independent Journalists (AIJ) tahun 2025 menyebutkan bahwa 67% kasus pidana digital di Indonesia bersumber dari pasal ini. Ironisnya, dalam banyak kasus, kritik atau satire terhadap pejabat publik disamakan dengan penghinaan pribadi.
Fenomena ini bukan hanya soal satu meme. Ini tentang atmosfer ketakutan yang merayap ke ruang ekspresi masyarakat. Survei dari Digital Rights Watch Indonesia pada 2025 menunjukkan bahwa 82% netizen Indonesia pernah membuat atau menyebarkan meme politik. Namun hanya 5% di antaranya yang pernah berhadapan dengan hukum, dan sebagian besar pelapornya berasal dari kalangan elite kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, satire dan kritik adalah bagian dari mekanisme kontrol sosial. Namun kini, keduanya dibungkam dengan hukum. Ketua LBH Pers, Ade Wahyudin, menegaskan bahwa ambiguitas hukum di Indonesia membahayakan kebebasan sipil. “Kritik dianggap menghina, satire dianggap pencemaran. Ini bahaya bagi demokrasi,” ujarnya.
Islam pun telah mengatur bagaimana menyampaikan pendapat dengan adil dan bijak. Dalam Al-Quran, Allah berfirman:
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, sekalipun terhadap kerabatmu.”\ (QS. Al-An’am: 152).
Ayat ini memberikan prinsip moral bahwa kebenaran tidak boleh dibungkam, apalagi karena kekuasaan. Kritik yang adil dan jujur adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Sayangnya, di negeri ini, keadilan sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kasus Dina langsung menjadi perbincangan publik. Tagar #BebaskanDina trending di media sosial X dengan lebih dari 450.000 unggahan dalam satu hari. Ratusan ribu warganet menyuarakan protes atas kriminalisasi kritik. Lebih dari 15.000 orang menandatangani petisi daring yang mendesak pencabutan laporan terhadap Dina, sementara gelombang baru meme justru bermunculan sebagai bentuk solidaritas dan perlawanan.
Keresahan ini semakin menguat saat laporan Freedom House tahun 2025 mengungkap bahwa 61% warga Indonesia kini takut mengutarakan pendapat politik di media sosial. Bahkan 78% akademisi mengaku menyensor tulisan dan penelitian mereka sendiri, demi menghindari konflik dengan kekuasaan. Ini adalah indikasi bahwa kebebasan berekspresi telah terkikis perlahan.
Padahal, konstitusi Indonesia sendiri menjamin hak untuk berbicara dan berpendapat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Maka ketika aparat hukum lebih sibuk membidik suara rakyat daripada memperbaiki sistem, negara sedang melangkah ke jurang otoritarianisme yang halus namun menghimpit.
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda: Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. (HR. Tirmidzi)
Hadis ini tidak hanya relevan dalam konteks politik klasik, tapi juga menjadi panduan dalam dunia digital saat ini. Ketika warganet menyuarakan kegelisahan melalui meme, satire, atau kritik, mereka bukan sedang mencemarkan nama baik, tetapi sedang mengingatkan bahwa kekuasaan tidak boleh lepas dari kontrol rakyat.
Negara kini berada di titik krusial. Apakah akan terus menggunakan pasal-pasal lentur sebagai alat pemberangusan, atau berbenah menuju sistem hukum yang lebih adil dan berpihak pada kebebasan sipil? Kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi, bukan ancaman. Jika kritik dibungkam, yang tumbuh bukan ketertiban, tapi ketakutan.
Arah Kebebasan Berkespresi
Meme Dina adalah cermin. Cermin tentang bagaimana negara menyikapi suara-suara kecil yang berani bersuara. Dan dari cermin itu, kita semua patut bertanya: ke mana arah kebebasan berekspresi di Indonesia dibawa?
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital di Indonesia semakin sempit untuk ekspresi publik, terutama bagi kalangan muda dan intelektual kampus. Mahasiswi seperti Dina tidak sedang melakukan penghinaan dalam makna harfiah, melainkan sedang mengekspresikan keresahan sosial melalui satire—satu bentuk komunikasi politik yang sah dalam masyarakat demokratis. Dalam teori komunikasi politik, satire merupakan mekanisme sosial untuk mengoreksi kekuasaan. Namun, alih-alih didengar, suara itu malah dibungkam atas nama hukum yang multitafsir.
Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar pernah menyatakan bahwa ketidakjelasan rumusan pasal penghinaan dalam UU ITE membuka ruang subjektivitas aparat penegak hukum. Hal inilah yang membuat netizen mempertanyakan: mengapa meme tentang pemimpin bisa langsung direspon secara represif, sedangkan ujaran kebencian yang lebih nyata kerap dibiarkan? Ini mencerminkan ketimpangan perlakuan hukum di ruang digital, yang akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum.
Islam sendiri memuliakan ilmu dan keberanian menyuarakan kebenaran. Dalam satu riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.” Hadis ini mengandung makna penting bahwa dalam konteks ketidakadilan, suara dari rakyat tidak boleh dibungkam, apalagi oleh hukum yang dipelintir untuk melindungi elite kekuasaan. Justru kritik yang bersumber dari hati nurani mahasiswa—sebagai agen moral—harus dilindungi, bukan dikriminalisasi.
Jika negara terus membiarkan kriminalisasi kritik berlangsung, maka bangsa ini perlahan-lahan sedang meninggalkan akar konstitusionalnya. Pasal 28E UUD 1945 tidak sekadar hiasan konstitusi, melainkan jaminan hidup demokrasi. Meme Dina bukanlah ancaman negara. Yang mengancam adalah sikap negara yang anti-kritik, sensitif terhadap sindiran, dan takut ditertawakan.
Maka pertanyaan besarnya kini: apakah kita masih hidup dalam republik demokratis, atau sudah terperosok dalam negara yang menganggap satire sebagai senjata makar? (*)
Editor Amanat Solikah