
PWMU.CO – Ini menjadi pengalaman perdana saya menunaikan ibadah haji maupun umrah. Karena itu, ketika ada ajakan untuk mengikuti City Tour—yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan sebelum pelaksanaan ibadah umrah dan haji—saya pun menyambutnya dengan sangat gembira.
Melalui City Tour gratis, kami dijanjikan diajak berkeliling Kota Madinah untuk mengunjungi beberapa tempat wisata religi, di antaranya Masjid Quba, Masjid Qiblatain, Jabal Uhud, dan kebun kurma.
Khusus wisata ke kebun kurma sebagaimana yang dipromosikan. Sebelum tiba di lokasi, saya sudah membayangkan bahwa kunjungan ke kebun kurma ini akan serupa dengan wisata kebun di Indonesia, misalnya Malang dengan wisata petik apel, petik jeruk, atau petik stroberinya. Saya sudah membayangkan untuk bisa melihat atau bahkan menyentuh langsung pohon-pohon kurma, mengamati proses panen buah kurma. Pendek kata, menikmati suasana kebun kurma secara lebih dekat.
Kebun kurma yang hendak kami tuju berjarak sekitar 4 kilometer dari Hotel Grand Plaza Madina, kami dari KBIH ‘Sidratul Muntaha’ PDM Jombang menginap. Area parkirnya sangat luas, dan tampak banyak bus jumbo terparkir di sana. Karena itu, kami mengingatkan agar mencatat nomor bus yang kami naiki, atau, bila perlu memotretnya agar tidak salah masuk bus saat kembali.
Kami pun turun dari bus saat sampai lokasi. Rombongan jamaah pun bergembira dan tampak tidak sabar untuk segera memasuki kebun kurma yang diimpikan. Kami pun mengikuti seorang pemandu lokal saat di tempat tujuan.
Ambyarrrr…….
Saat pintu gerbang terbuka dan kami sudah masuk di dalamnya, apa yang kami bayangkan “kebun kurma” ternyata jauh dari ekspektasi. Ambyar sudah…… kami justru mengarah ke mall kurma, atau tepatnya pasar pusat penjualan kurma. Bukan ke kebun kurma seperti dalam impian. Berbagai jenis kurma, sepertinya, ada di tempat tersebut.
Meski demikian, saya merasa cukup terhibur dengan sambutan ramah para pedagang kurma saat menyapa rombongan dengan Bahasa Indonesia.
“Selamat datang jamaah dari Jombang kotanya Gus Dur,” teriakan pedagang. Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid adalah Presiden RI ke-4. Dalam hati saya bertanya-tanya, dapat bocoran dari mana mereka kok tahu kalau kami rombongan dari Jombang.
Ditambah lagi dengan celotehan-celotehan khas marketing yang merajuk agar para jamaah segera menukarkan mata uang Riyal dengan kurma-kurma mereka.
Saya pun berkeliling di area pasar kurma itu untuk menikmati kurma yang tersedia dan dijual dalam berbagai ukuran—dari yang besar hingga kecil—dengan tekstur yang lembut, kenyal, hingga kriuk-kriuk, serta aneka buah khas Arab lainnya.
Yang lebih mengejutkan, sebagian besar penjual di sana fasih berbahasa Indonesia, bahkan memahami dialek dari beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Alamakkkkk, rasanya seperti sedang berada di Sunan Ampel Surabaya, bukan di Madinah!
Jadi, bagi yang belum pernah ke Arab, tidak perlu khawatir—disini banyak orang yang bisa berbahasa Indonesia. Bahkan lebih mengejutkan lagi, di beberapa tempat kita juga bisa menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran. Namun, perlu diketahui bahwa pecahan terkecil yang mereka terima adalah lima puluh ribu rupiah.
Ada kejadian lucu terkait uang rupiah karena salah paham dari salah satu jamaah. Ia menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu rupiah untuk membayar, sesuai dengan harga yang ditawarkan. Namun, pedagang Arab justru menolaknya. Jamaah itu pun tampak kebingungan. Setelah saya jelaskan bahwa mereka hanya mau menerima uang pecahan lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah, kebingungan itu akhirnya sedikit teratasi.
Lelah berkeliling pasar kurma, penasaran saya tentang “kebun kurma” belum juga sirna. Sebenarnya keinginan untuk ke kebun kurma (bukan mall/pasar kurma) bukan utama. Saya hanya ingin mendapatkan buah kurma muda pesanan seseorang di Tanah Air. Keinginan mendapatkan kurma muda itu pun terpaksa batal. Ada informasi bahwa di Makkah saja jika ingin mendapatkan kurma muda yang fresh.
Mungkin butuh kesabaran terlebih dahulu sebelum mendapatkan buah kurma muda — yang konon dipercaya dapat memudahkan wanita untuk cepat hamil. Wallahu a’lam bishawab.
Editor Notonegoro