
Oleh Andi, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah UHAMKA
PWMU.CO – Di tengah derasnya arus informasi dan pertarungan tafsir sejarah yang terjadi di ruang publik, gagasan penulisan ulang sejarah Indonesia atau reinventing sejarah kembali mencuat sebagai isu strategis. Ini bukan semata proyek akademik, apalagi agenda politis sesaat, melainkan bentuk kehadiran negara untuk membangun narasi sejarah yang kokoh—yang dapat menjadi rujukan bagi pendidikan dan pembentukan identitas bangsa.
Dalam sistem pendidikan kita, sejarah telah lama mengalami tarik-ulur antara substansi ilmiah, kompetensi pembelajaran, dan kepentingan ideologis. Sering kali, sejarah dipinggirkan dari kurikulum atau diringkas dalam bentuk integrasi lintas bidang. Padahal, sejarah memiliki kekuatan utama: menghubungkan masa lalu dengan masa depan melalui pemahaman kolektif atas jati diri bangsa.
Mengapa Perlu Sejarah Resmi?
Penulisan sejarah resmi (official history) sering kali disalahpahami sebagai upaya untuk menyeragamkan tafsir dan membatasi kebebasan berpikir. Padahal, dalam konteks pendidikan nasional, sejarah resmi diperlukan untuk memberikan pijakan yang kuat dan konsisten dalam menyampaikan identitas bangsa kepada generasi muda.
Kita tidak sedang bicara tentang satu kebenaran absolut, tetapi tentang titik temu narasi bangsa yang telah melalui proses akademik, selektif, dan inklusif. Tanpa sejarah resmi, siswa dan mahasiswa akan terus terombang-ambing di tengah kebingungan sumber—dari buku ajar yang beragam hingga konten digital yang belum tentu terverifikasi.
Kita telah menyaksikan sendiri betapa berbedanya narasi sejarah yang berkembang di ruang-ruang kelas. Guru sejarah harus memilih di antara banyak buku yang saling bertentangan. Mahasiswa pun kebingungan saat menjumpai versi sejarah yang berbeda antara satu dosen dan dosen lain, antara satu kanal YouTube dengan laman blog pribadi.
Ketiadaan narasi utama hanya memperparah krisis identitas yang dihadapi generasi muda. Sejarah yang multitafsir memang penting dalam diskursus ilmiah, tetapi dalam dunia pendidikan dasar hingga menengah, dibutuhkan satu narasi resmi yang sahih dan terstruktur.
Negara Harus Hadir
Dalam Seminar Nasional bertema “Sejarah di Simpang Jalan Kurikulum: Antara Substansi, Kompetensi, dan Ideologi”, yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah, sejumlah tokoh pendidikan sejarah memberikan pernyataan yang memperkuat pentingnya penulisan ulang sejarah nasional.
Wakil Rektor II UHAMKA sekaligus dosen sejarah, Desvian Bandarsyah menyampaikan bahwa sejarah resmi adalah jangkar memori bangsa. Tanpa kehadiran negara dalam menyusun narasi sejarah, generasi muda akan tumbuh dalam kebingungan yang berkepanjangan.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), menegaskan bahwa guru-guru di sekolah sangat membutuhkan buku ajar sejarah yang utuh, teruji, dan tidak saling bertentangan.
“Siswa kita berhak mendapat cerita bangsa yang sistematis dan konsisten,” ujarnya.
Lelly Qodariah, dosen pendidikan sejarah, menyatakan bahwa sejarah harus dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah, karena ia membentuk kesadaran kebangsaan, bukan sekadar hafalan peristiwa. Ia juga menyoroti risiko disinformasi sejarah di era digital yang mengancam pemahaman generasi muda tentang jati diri bangsanya.
Sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, saya sendiri meyakini bahwa reinventing sejarah harus dilakukan secara ilmiah, partisipatif, dan lintas disiplin. Bukan hanya oleh pemerintah atau akademisi pusat, tetapi juga melibatkan guru, komunitas lokal, serta generasi muda.
Pandangan ini diamini oleh Ahmad Maulana, perwakilan mahasiswa dalam seminar. Ia menyatakan bahwa mahasiswa merasa bingung dengan begitu banyaknya versi sejarah yang beredar, baik di kelas maupun di media sosial. “Kami butuh sejarah yang bisa kami pegang, bukan hanya potongan-potongan yang viral tapi tak teruji,” katanya.
Pernyataan ini mencerminkan realitas yang tak bisa diabaikan. Ketika sejarah tidak ditopang oleh narasi resmi yang jelas, pendidikan kehilangan arah. Dan yang lebih berbahaya, bangsa ini kehilangan kendali atas bagaimana ia diingat, dibayangkan, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Arah Masa Depan
Penulisan ulang sejarah Indonesia bukan proyek pelestarian masa lalu, melainkan investasi bagi masa depan bangsa. Narasi sejarah yang kuat, otoritatif, dan terbuka terhadap kritik adalah fondasi untuk membangun bangsa yang sadar akan dirinya sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh sejarawan Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983), bangsa adalah komunitas yang dibayangkan. Imajinasi kolektif ini dibentuk, salah satunya, melalui sejarah yang kita ajarkan dan kita percayai bersama.
Maka, kita membutuhkan sejarah resmi—bukan sebagai narasi tunggal penyeragaman, tetapi sebagai rujukan bersama yang memungkinkan warga negara mengenali dirinya dalam keragaman yang utuh.
Pemerintah perlu hadir, dunia akademik wajib terlibat, dan generasi muda harus diberi ruang. Hanya dengan sejarah yang ditulis ulang secara inklusif dan berbasis riset, kita bisa membangun identitas nasional yang kokoh di tengah zaman yang terus berubah. (*)
Editor Amanat Solikah