
PWMU.CO – Memasuki usia satu abad lebih, Aisyiyah — organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah — kembali menegaskan komitmennya sebagai gerakan perempuan yang tidak hanya fokus pada isu keagamaan dan pendidikan, tetapi juga pada persoalan-persoalan strategis bangsa. Pada Milad ke-108, Aisyiyah mengusung tema “Memperkokoh Ketahanan Pangan Berbasis Desa Qaryah Thayyibah Menuju Ketahanan Nasional.” Tema ini tentu sangat selaras dan relevan dengan tantangan zaman.
Di tengah ancaman krisis pangan, inflasi harga bahan pokok, hingga ancaman perubahan iklim, ketahanan pangan pun menjadi isu krusial. Bagi Aisyiyah, persoalan ini tidak hanya menjadi beban pemerintah atau dunia internasional. Bagi Aisyiyah, persoalan ini adalah persoalan rumah tangga juga, persoalan perempuan, dan persoalan desa. Karena itu, upaya membangun ketahanan pangan harus dimulai dari bawah, dari komunitas terbawah yang paling merasakan dampaknya secara langsung.
Tagline milad ke-108 ini menyodorkan solusi berbasis desa, yaitu konsep Qaryah Thayyibah, desa yang baik dan sejahtera secara jasmani dan rohani. Mengapa desa? Karena desa secara sosiologis lumbung ketahanan sesungguhnya. Ketika desa diberdayakan dengan baik, dikelola secara berkelanjutan, dan dibangun dengan nilai-nilai spiritual, maka kekuatan pangan nasional bisa berdiri kokoh. Di sinilah peran penting Aisyiyah: memberdayakan petani perempuan, mendorong pertanian ramah lingkungan, mendampingi keluarga dalam konsumsi sehat, dan membangun kemandirian ekonomi berbasis komunitas.
Ketahanan pangan bukan sekedar tentang kecukupan stok beras, tetapi tentang kedaulatan. Yaitu tentang siapa yang mengontrol produksi, distribusi, dan aksesnya. Dalam hal ini, Aisyiyah memahami bahwa perempuan memiliki posisi strategis di titik-titik penting itu. Karena itu, melalui tema milad ini, Aisyiyah mengajak kita semua untuk melihat desa bukan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek utama dalam menciptakan masa depan yang mandiri dan berkeadilan.
Lebih dari satu abad Aisyiyah telah bergerak dalam diam namun berdampak besar. Kini, saatnya gerakan ini untuk semakin mendapatkan penguatan. Ketahanan nasional tidak bisa muncul hanya dari kota saja. Tapi juga harus tumbuh dari desa. Dari perempuan. Dan dari komunitas yang menjaga bumi dan pangan dengan cinta dan tanggung jawab.
Dari gagasan ke tindakan
Gerakan ketahanan pangan oleh Aisyiyah tidak berhenti pada tataran gagasan. Di berbagai daerah, kader-kader Aisyiyah telah menginisiasi kebun keluarga, pelatihan pertanian organik, hingga pengolahan hasil panen yang bernilai ekonomi. Di perkotaan, Aisyiyah mendorong pemanfaatan lahan sempit untuk urban farming, sementara di pedesaan, mereka mendampingi petani perempuan agar mampu mandiri secara produksi dan distribusi.
Aksi Aisyiyah ini menjadi bukti bahwa ketahanan pangan tidak hanya tanggung jawab negara atau ahli pertanian. Ia bisa menjadi gerakan sosial yang tumbuh dari bawah, asalkan ada dukungan, pendidikan, dan semangat gotong royong yang berkelanjutan. Aisyiyah telah mensosialisasikannya sejak lama melalui sekolah, majelis taklim, koperasi, hingga jaringan komunitas di akar rumput.
Dalam konsep Qaryah Thayyibah, pembangunan tidak semata-mata soal infrastruktur atau angka-angka pertumbuhan ekonomi. Ini tentang membangun tatanan masyarakat yang sehat, berdaya, dan beretika. Pangan dalam perspektif ini tidak hanya tampak dari sisi fisik, tetapi juga spiritual dan sosial. Bagaimana makanan diproduksi, dibagikan, dan dikonsumsi mencerminkan kualitas nilai dalam masyarakat. Aisyiyah berupaya memastikan bahwa proses itu adil, berkelanjutan, dan memperkuat ketahanan keluarga.
Perempuan, dalam hal ini, tidak sekadar sebagai pengelola dapur atau pengatur konsumsi rumah tangga. Mereka adalah penjaga masa depan generasi. Ketika perempuan mendapatkan pengetahuan dan ruang untuk berperan dalam sistem pangan, maka keputusan-keputusan yang mereka ambil akan lebih berdampak: memilih makanan sehat, mendukung produk lokal, menghindari pemborosan, serta ikut dalam pengambilan kebijakan komunitas.
Lebih jauh, ketahanan pangan juga berkaitan erat dengan ketahanan sosial dan moral. Krisis pangan seringkali memicu konflik, memperbesar ketimpangan, dan memperlemah solidaritas sosial. Aisyiyah hadir untuk mengingatkan bahwa menjaga pangan adalah bagian dari menjaga keutuhan bangsa.
Dengan semangat milad ke-108, Aisyiyah menunjukkan bahwa membangun ketahanan pangan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, tetapi terarah. Dari kebun di pekarangan, dari diskusi di pengajian, dari kolaborasi dengan petani lokal, hingga advokasi kepada pemangku kebijakan. Semua bisa menjadi bagian dari upaya besar menuju ketahanan nasional.
Aisyiyah tidak hanya menjaga ingatan sejarah, tetapi juga menyalakan obor masa depan. Tagline milad tahun ini menjadi pengingat bahwa jalan menuju bangsa yang berdaulat harus dilalui bersama—dengan semangat gotong royong, keberpihakan pada yang kecil, dan keteguhan dalam nilai-nilai Islam berkemajuan.
Ketahanan pangan tidak bisa tercipta dalam semalam. Tapi dengan komitmen dan kerja kolektif yang terus menyala, ia bisa menjadi warisan besar yang generasi penerus akan mengenangnya. Yaitu bahwa di tengah krisis dan tantangan, ada sekelompok perempuan tangguh yang memilih menanam, merawat, dan menjaga kehidupan dari desa untuk Indonesia.
Akhirnya, dengan mengutip Mars Aisyiyah “Mari beramal dan berdarma bakti membangun Negara. Mencipta masyarakat Islam sejati penuh karunia“. Selamat Milad ke-108 Aisyiyah, tetap semangat memberikan kontribusi dalam pembangunan Negara sesuai dengan ranah programnya. (*)
Editor Notonegoro