
Penulis Fadlan Sekretaris LPCRPM PDM Lamongan
PWMU.CO – Berqurban merupakan praktik ritual ibadah umat islam yang telah membudaya dan menjadi bagian dari kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Kegiatannya dilakukan dengan cara memotong atau menyembelih binatang qurban (unta, sapi, kambing, domba atau kerbau) pada hari-hari tertentu ditanggal 10-13 Dzulhijah selepas pelaksanaan shalat Idul Adha.
Secara singkat ibadah qurban didasarkan pada perintah Allah dalam surat Al-Kautsar ayat yang artinya maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!
Lebih lanjut dikuatkan dengan Hadits Nabi SAW.
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)
“Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, barang siapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Perintah untuk menyembelih binatang qurban dalam al Quran berupa fi’il ‘amr “وَانْحَرْ”, yang menunjukkan arti perintah, dalam bahasa ushul fikih didapati kaidah
ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب
Yang artinya: Asal dalam perintah menunjukan arti wajib
Perintah kemudian dikuatkan dengan Hadits diatas, sehingga dikalangan ulama ada yang berpendapat bahwa Ibadah qurban hukumnya adalah wajib, namun secara umum menghukuminya sebagai Sunnah Muakkad kepada mereka yang mampu atau ada keluasan rejeki.
Memaknai Kalimat Mampu Dalam Ibadah Qurban
Untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang makna mampu dalam konteks ini, menurut penulis penting untuk difahami bahwa mampu dapat dikategorikan menjadi 2 (dua). Pertama, mampu dalam arti riil yakni kenyataan kondisi kelapangan rejeki / ekonomi sebab memiliki binatang qurban sendiri atau memiliki harta untuk membeli binatang qurban. Kedua, mampu dalam arti diusahakan, atau kemampuan untuk mengusahakan atau mengupayakan.
Sebagai contoh ada orang yang diberikan kemudahan mampu membangun atau membeli rumah secara langsung atau membeli mobil secara cash, disisi lain ada orang yang mampu membelinya dengan jalan menabung atau mengkreditnya. Keduanya dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu
Demikian pula dalam ibadah qurban, ada yang mampu lantaran memiliki atau memelihara binatang qurban sendiri. Ada pula yang mampu karena ia memiliki kemampuan untuk membelinya sebab memiliki kelebihan rejeki yang ia simpan dirumah maupun yang tercatat dalam rekening bank dan lain sebagainya. Sisi lain sebagaimana definisi mampu sebagaimana penulis uraikan diatas, ada bentuk-bentuk lain yang menjadikan orang menjadi mampu atau dianggap mampu secara muamalah untuk berqurban
Bentuk-Bentuk Fikih Muamalah Dalam Persiapan Ibadah Qurban
Pertama, Jual-beli. Jual beli adalah hal paling umum dalam urusan muamalah khususnya untuk memperoleh hewan qurban yang di kehendaki, para ulama berpedoman kebolehan disandarkan pada keumuman dalil di antaranya.
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Selain itu jual beli adalah pilihan cara yang paling shahih dan sempurna untuk memiliki barang milik orang lain, sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
Dan janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan cara yang batil.
Berkaitan dengan jual-beli hewan qurban maka harus memenuhi syarat umum berkaitan dengan jual-beli di antaranya adanya Penjual – pembeli, Antaradhin (suka sama suka), Aqad yang jelas / ijab qabul, Causa dan benda yg halal
Dalam konteks jual beli hewan qurban, maka penjual dan pembeli harus sama-sama mengetahui bahwa hewan yang di transaksikan memenuhi syarat untuk di qurban, tidak asal besar gemuk dan sebagainya sebagai wujud pelaksanaan rukun jual-beli yakni causa dan benda yang halal untuk qurban.
Kedua, Syirkah atau patungan. Dalam hal pembelian binatang qurban berupa unta atau sapi, adakalanya pembeliannya dilaksanakan dengan cara patungan atau bersama kelompok yang terdiri atas 7 (tujuh) orang dengan maksud dan tujuan yang sama
Praktik syirkah qurban sendiri telah berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW. sebagaimana digambarkan dalam Hadits:
كنا نتمتع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعمرة، فنذبخ البقرة عن سبعة نشترك فيها
“Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan ‘umrah daripada haji) bersama Rasulullah SAW, lalu kami menyembelih sapi dari hasil patungan sebanyak tujuh orang.” (HR Muslim).
Ketiga, Tabungan qurban. Menabung merupakan bentuk praktik kehidupan masyarakat modern, kegiatan ini dipandang sebagai gaya hidup kekinian untuk mengelola atau menyimpan keuangan / harta, ia selaras dengan nafas islam untuk mempersiapkan kehidupan di masa depan, sejalan dengan sebagaimana firman-Nya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasr: 18).
Para ulama mengalihkan kebolehan tabungan sebagaimana gambaran ayat al Quran tentang kisah Nabiyullah Yusuf As. Dimana ketika beliau menjadi bendahara negara Nabi Yusuf menyimpan sebagian hasil pertanian dan perniagaan negara dan rakyatnya selama 7 musim untuk persiapan menghadapi paceklik musim-musim berikutnya
Disamping itu para ulama menghukumi kebolehannya didasarkan pada beberapa kaidah yakni Al aslu fil asy,ya’i lil ibahah atau al ashlu fil muamalati lil ibahah yang memiliki arti bahwa hukum asal segala sesuatu atau muamalah adalah mubah atau boleh
Berikutnya para ulama juga berpandangan bahwa segala upaya dalam rangka mendukung terlaksananya sebuah kewajiban maka upaya tersebut hukumnya turut menjadi wajib sebagaimana kaidah : ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajib, kalaulah dengan jalan menabung orang yang semula tidak mampu berqurban menjadi mampu berqurban maka menabung untuk qurban inipun layak menjadi wajib setidaknya dianjurkan atau ditekankan
Menabung adalah bagian dari merencanakan masa depan dengan baik, termasuk dalam hal ibadah qurban, sehingga tepat kiranya kalau hal tersebut dikategorikan sebagai “iddikhar al-faidh liwaqt al-hajah amrun wujubiyyun” artinya menabung kelebihan untuk saat dibutuhkan adalah wajib
Keempat, Arisan qurban. Tidak semua orang memiliki harta atau keuangan yang cukup untuk turut serta menjadi shahibul qurban disetiap waktunya, makan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihannya untuk dapat melaksanakan qurban adalah dengan jalan menjadi peserta arisan qurban. Secara umum, arisan dalam Islam oleh para ulama dianggap boleh atau mubah, mengikuti kaidah keumuman hukum asal dalam muamalah
Semisal ada 2 (dua) atau 3 (tiga) orang, si-a, si-b dan si-c yang secara ekonomi kerap kali kesulitan, kebutuhan bisa dikatakan cukup dan juga sedikit sedikit ia dapat menabung. Namun kalau harus setiap waktu harus berqurban secara finansial ia keberatan.
Jika direnungkan kembali, kalau begitu terus selamanya ia kemungkinan tidak bisa berqurban. Padahal ia masih bisa mengupayakan untuk menyisihkan sedikit demi sedikit rejekinya, kalaulah dihitung-hitung mungkin setiap 2 atau 3 tahun sekali asalkan rutin ia pasti bisa berqurban pula.
Namun kalau nabung sendiri resiko uang yang kurang terkelola dengan baik akan habis juga untuk keperluan atau keinginan lainnya. Maka ia butuh teman bersama untuk bersepakat melakukan arisan, untuk melaksanakan tujuan tersebut dan agar ada saling tanggung jawab diantara anggota dengan metode dan giliran yang jelas. Dari sini terbentuklah kelompok arisan qurban.
Kebolehan arisan qurban mengandung beberapa persyaratan di antaranya
1. Adanya kesamaan maksud dan kejelasan aqad
2. Tidak mengandung unsur riba,
2. Tidak ada gharar (ketidakjelasan), atau
3. Tidak ada dharar (bahaya). Arisan yang memenuhi syariat Islam dianggap sama dengan menabung, di mana uang disepakati untuk disalurkan kepada anggota sesuai undian yang disepakati bersama.
Maka para ulama memberikan aturan yang penuh Kehati-hatian, tidak boleh ada gharar maupun dhirar misal, ada salah satu anggota yang track recordnya tidak amanah maka ini tidak boleh. Di samping itu arisan quran diperbolehkan karena dipandang sebagai perwujudan dari pengalamalan atas Taawun alal birri wat taqwa.
Kelima, sedekah qurban. Qurban adalah salah satu ibadah yang mulia, baik dalam dimensi hablum minallah maupun hablum minan nas, meskipun demikian tidak semua orang diberikan kemampuan untuk melaksanakan
Meskipun demikian ketidak mampuan berqurban bukan berarti lalu meniadakan sama sekali sebagaimana kaidah “Ma la yudriku kulluh la yutriku kulluh” Apa-apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya atau secara sempurna, jangan tinggalkan semuanya. Begitupun dalam hal ibadah qurban, orang yang belum mampu berqurban tak lantas lalu meninggalkan semuanya
Dari sini para ulama berpendapat bolehnya sedekah qurban, apakah dengan membeli daging sekilo atau dua kilo untuk turut dibagikan dengan orang lain yang lebih membutuhkan, ataukah sebagaimana yang biasa di budayakan dalam kelas anak2 sekolah dimana mereka iuran sedekah patungan bersama untuk dibelikan hewan qurban untuk dikurbankan
Beberapa alternatif pilihan metode di atas dapat kita tempuh agar mampu menjadi shahibul qurban. Sungguh sebuah anomali terkadang kita mampu membeli sebungkus rokok setiap hari, gaya hidup elit, bisa nongki di cafe dsb. namun tidak mampu mengusahakan berqurban.
Jangan-jangan yang disindir Nabi tidak boleh dekat-dekat musholanya adalah kita yang tak berqurban atau mengusahakannya, wallahu a’lam. (*)
Editor Amanat Solikah