
PWMU.CO – Banyak pihak, termasuk perguruan tinggi dan organisasi non-pemerintah, menyatakan bahwa kebijakan reklamasi di Teluk Jakarta sarat kepentingan politik. Di sisi lain, terdapat banyak aspek yang seharusnya menjadi perhatian dan pertimbangan untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan secara sosial dan lingkungan. Proses pengambilan keputusan yang cenderung tertutup serta rendahnya dari partisipasi publik semakin memperkuat dugaan adanya kepentingan oknum-oknum tertentu di balik kebijakan tersebut.
Secara prinsip, Proyek Strategis Nasional (PSN) itu seharusnya menjadi proyek yang memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. PSN idealnya lebih mengarah pada proyek pembangunan infrastruktur dasar, seperti: jalan raya, transportasi umum, penyediaan air bersih, energi terbarukan, atau penanggulangan bencana alam. Namun pada masalah reklamasi Teluk Jakarta ini, fokus utama proyek tampaknya lebih pada pengembangan properti komersial dan investasi yang bernilai tinggi dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Keterlibatan politisi dan pengusaha besar dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek ini menjadi indikasi kuat adanya transaksi politik di balik kebijakan tersebut. Banyak pihak mencurigai bahwa keputusan untuk menjadikan reklamasi sebagai PSN merupakan bentuk dari imbal jasa atas dukungan politik yang mereka berikan kepada pemerintah. Hal ini bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik.
Dampak langsung dari kebijakan itu mulai berdampak pada masyarakat sekitar. Warga nelayan dan permukiman tradisional tergusur tanpa mendapat ganti rugi yang layak. Mereka yang selama ini bergantung pada sumber daya laut di wilayah itu, terpaksa harus menanggalkan mata pencaharian mereka karena ekosistem laut yang semakin rusak akibat aktivitas reklamasi.
Dengan demikian, proyek reklamasi ini sejatinya memiliki potensi merusak lingkungan alam. Dengan mengubah struktur alami garis pantai dan ekosistem pesisir, reklamasi berpotensi menimbulkan terjadinya banjir rob, abrasi, dan kerusakan ekosistem laut yang lebih parah. Alih-alih memberikan manfaat jangka panjang, proyek ini justru mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.
Negara seharusnya hadir sebagai pelindung hak-hak rakyat, bukan sebagai alat legitimasi bagi kepentingan korporasi. Apa yang kita lihat saat ini, aparatur negara lebih terlihat sebagai fasilitator bagi para investor besar. Sedangkan kepentingan rakyat secara umum lebih dominan terpinggirkan, atau bahkan tersingkirkan. Tentu saja kebijakan seperti ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan prioritas pembangunan nasional.
Menyikapi hal tersebut, Muhammadiyah berdasarkan hasil kajian ilmiahnya telah menyampaikan kritik tajam. Menurut Muhammadiyah, proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak memenuhi syarat sebagai PSN karena tidak mengandung manfaat universal bagi masyarakat. Sebaliknya, proyek ini justru hanya memperlebar kesenjangan antara kelompok elit perkotaan dengan masyarakat pinggiran yang rentan.
Lebih lanjut, keterlibatan birokrasi dalam proses pembebasan lahan dan pengawalan proyek ini membuka ruang konflik kepentingan yang serius. Jika tidak ada mekanisme kontrol yang kuat, maka kebijakan PSN bisa disalahgunakan sebagai instrumen bagi kelompok tertentu untuk memperluas dominasi mereka. Hal ini tentu saja akan merusak martabat pemerintah dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Penggunaan regulasi seperti Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2024 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN merupakan manipulasi melalui upaya untuk mempermudah prosedur administratif dengan mengabaikan aspek kajian lingkungan dan sosial yang mendalam. Kebijakan ini tentu berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal perlindungan lingkungan dan hak atas pemukiman yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penetapan PSN. Proses pengambilan keputusan harus lebih transparan dan partisipatif, dengan mendengarkan masukan dari masyarakat sipil, akademisi, serta lembaga pengawasan independen. Setiap proyek strategis harus berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Tanpa reformasi dalam tata kelola kebijakan pembangunan, Indonesia sulit mewujudkan visi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Penetapan PSN yang didasari politik transaksional bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa. Hanya dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan berlandaskan nilai-nilai Pancasila, Indonesia dapat mencapai kemajuan yang sejati dan bermartabat.(*)
Editor Notonegoro