
PWMU.CO – Dalam dunia yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, pendidikan tidak boleh hanya berkutat pada persoalan transfer pengetahuan akademik belaka. Pendidikan juga harus merambah aspek pembentukan karakter, peningkatan kesadaran sosial, serta kesiapsiagaan dalam menghadapi tantangan nyata, termasuk bencana. Fast Action Muhammadiyah (FASTAM) dan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) sedang mewujudkannya melalui aksi nyata mitigasi bencana di lingkungan pendidikan.
Dengan semangat ber-”Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagian dari bentuk pengamalan dari sila kedua dari Pancasila, FASTAM dan AMM menyasar beberapa sekolah — baik formal maupun informal — di Kota Malang. Visinya adalah melakukan edukasi kebencanaan. Kegiatan ini sebagai contoh konkret bahwa nilai-nilai dasar bangsa kita tidak sekedar sebagai hafalan. Tetapi juga harus teraktualisasi dalam tindakan yang relevan dan menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.
Kita tidak boleh memandang sepele terhadap kegiatan edukasi kebencanaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa bencana alam yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat — gempa, banjir, kebakaran, dan lainnya — datang bertubi-tubi. Padahal masih banyak lembaga pendidikan yang belum memiliki sistem tanggap darurat yang baik, apalagi pengetahuan dasar bagi siswa tentang bagaimana harus bertindak ketika bencana datang.
Mencermati hal tersebut, FASTAM dan AMM menjawab kekosongan itu dengan turun langsung ke lapangan. Dalam hal ini, AMM menghadirkan pemateri dari berbagai lini gerakan Muhammadiyah yang telah lama bergerak di bidang kebencanaan dan kemanusiaan. Diantaranya berasal dari LAZISMU Kota Malang, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kota Malang, Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Lowokwaru, dan Kwartir Daerah Hizbul Wathan. Keberagaman latar belakang pemateri memperkaya isi materi sekaligus menjadi simbol sinergi dalam gerakan dakwah sosial Muhammadiyah.
Paparan materi untuk siswa tidak hanya bersifat teoritis. Para siswa juga terlibat dalam memahami skenario nyata, melakukan simulasi evakuasi gempa, mengenali titik kumpul, hingga belajar teknik penyelamatan dasar dalam kondisi darurat. Pendekatan ini menjadikan siswa bukan hanya sebagai objek, tetapi subjek aktif dalam menciptakan budaya tangguh bencana di sekolah mereka.
Lebih membanggakan lagi, kegiatan ini tidak hanya bersifat seremonial belaka. FASTAM dan AMM menjadikannya sebagai agenda rutin bulanan yang kegiatannya berlangsung secara berkelanjutan. Hal ini mengisyaratkan adanya komitmen dalam waktu yang lama dan dengan dedikasi yang serius untuk membangun budaya aman di lingkungan pendidikan.
Kolaborasi ini pada akhirnya melahirkan sebuah komunitas baru yang bernama “FASTAM”, singkatan dari Fast Action Muhammadiyah. Komunitas ini terdiri dari anggota LAZISMU, PCPM Lowokwaru, Hizbul Wathan, dan MDMC. FASTAM merupakan jawaban atas kebutuhan gerak cepat yang responsif saat terjadi bencana dengan basis komunitas yang kuat, berjejaring, dan terorganisir.
Tibyani, ST, MT, Ketua Majelis Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (MLHPB) PDM Kota Malang sekaligus dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya menyebutkan, bahwa setidaknya ada 4 (empat) hal penting dari program ini. Pertama, pentingnya membangun kesepakatan bersama dengan stakeholder pendidikan untuk mendukung Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Kedua, SPAB bukan hanya sekadar program, tetapi menjadi bagian penting dalam menciptakan ruang pendidikan yang resilien. Ketiga, perlunya membangun budaya siaga bencana di lingkungan sekolah. Dan keempat, kolaborasi lintas majelis dan ortom Muhammadiyah adalah kunci memperkuat dakwah kemanusiaan di bidang kebencanaan.
Melalui opini ini, penulis tidak sekedar mengungkapkan rasa apresiatif belaka, tetapi juga sekaligus mengajak. Jika Muhammadiyah telah memulainya, maka pihak lain pun harus terdorong melakukan hal yang sama. Pemerintah daerah, institusi pendidikan, organisasi sosial, bahkan hingga korporasi, harus menjadikan mitigasi bencana sebagai investasi sosial jangka panjang. Bukan hanya tindakan darurat ketika bencana tiba-tiba datang.
Edukasi mitigasi bencana merupakan pengejawantahan nilai kemanusiaan secara nyata. Ia memperlihatkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak cukup hanya melalui mimbar atau ruang kelas, tetapi juga dari lapangan terbuka, dengan suara peluit, simulasi evakuasi, dan wajah-wajah cemas yang perlahan menjadi percaya diri.
Akhirnya, FASTAM dan AMM tidak hanya mengungkap rasa syukur atas suksesnya acara. Ada harapan besar yang disampaikan, yaitu agar kegiatan serupa terus tumbuh dan menjadi gerakan kolektif nasional. Pendidikan kita bukan hanya dituntut mencetak siswa cerdas, tapi juga siswa yang peduli, siap siaga, dan tangguh dalam menghadapi kenyataan hidup yang tidak selalu ramah.
Pendidikan yang tidak mendidik untuk hidup adalah pendidikan yang gagal. FASTAM bersama AMM telah menunjukkan bahwa hidup yang layak itu juga berarti hidup yang selamat.Editor Notonegoro