
Oleh: Uswatun Hasanah MPd, Guru Bahasa Indonesia Sekolah Pesantren MTs Muhammadiyah 1 Malang
PWMU.CO – Di tengah gegap gempita era digital yang kian mendominasi setiap aspek kehidupan, pendidikan justru berada dalam posisi dilematis. Arus teknologi digital yang deras tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga candu yang perlahan menggerus nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri.
Fenomena “sakau digital” istilah yang mencerminkan kecanduan masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap gawai dan media sosial kini menjadi tantangan besar dunia pendidikan. Di satu sisi, teknologi menawarkan akses belajar tanpa batas. Namun di sisi lain, ia juga mengikis konsentrasi, kedalaman berpikir, dan semangat belajar yang hakiki.
Fenomena ini mulai menjangkiti peserta didik dari berbagai jenjang usia, menjadikan gawai bukan sekadar alat bantu belajar, melainkan candu yang sulit dilepaskan. Akibatnya, fokus belajar menurun, interaksi sosial memburuk, dan proses pendidikan pun terancam kehilangan makna dasarnya. Dalam kondisi seperti ini, dunia pendidikan dituntut untuk tidak hanya mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga mampu membangun kesadaran kritis agar generasi muda tidak tenggelam dalam arus digital yang membutakan.
Fenomena sakau digital di kalangan pelajar semakin terasa nyata. Indonesia tercatat sebagai negara dengan pasar game online terbesar ketiga di dunia. Berdasarkan penelitian data AI, jumlah unduhan game online di Indonesia, tercatat mencapai 3,45 miliar. Gawai yang awalnya digunakan untuk menunjang pembelajaran daring, kini justru lebih sering dimanfaatkan untuk bermain game, berselancar di media sosial, atau menonton konten hiburan secara berlebihan hingga tidur larut malam yang menyebabkan mereka mengantuk di sekolah,waktu pembelajaran digunakan untuk tidur di dalam kelas dan mereka kehilangan fokus, dan performa belajar pun menurun drastis.
Pelajar sekarang lebih memilih membaca ringkasan pelajaran dari internet atau menonton video pembelajaran singkat daripada membaca buku pelajaran. Akibatnya, kemampuan memahami teks panjang dan berpikir mendalam semakin menurun. Hal ini menyebabkan menurunnya konsentrasi saat belajar, lemahnya kemampuan berpikir kritis, hingga berkurangnya minat membaca buku. Bahkan, sebagian siswa mengalami kesulitan membedakan antara kebutuhan belajar dan kebutuhan hiburan digital.
Banyak guru mengeluhkan siswa yang sulit fokus di kelas karena terus-menerus mengecek ponsel, meskipun sudah ada larangan. Beberapa bahkan menyembunyikan gawai di bawah meja untuk bermain gim atau membuka media sosial saat pelajaran berlangsung. Ini jelas mengganggu proses belajar dan menunjukkan gejala ketergantungan.
Ada siswa yang merasa cemas, gelisah, bahkan marah saat tidak membawa ponsel ke sekolah atau saat baterai habis. Ini gejala psikologis yang mirip dengan kecanduan zat, dan menunjukkan bahwa ponsel sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari emosi dan kenyamanan diri mereka. Beberapa pelajar terlihat kurang percaya diri ketika harus berbicara atau berdiskusi secara langsung. Mereka lebih nyaman berkomunikasi lewat pesan teks atau media sosial.
Interaksi sosial yang sehat pun menjadi terganggu karena mereka lebih “hidup” di dunia maya. Aktivitas kolaboratif seperti diskusi kelompok atau kerja sama dalam proyek pembelajaran sering kali terhambat karena perhatian siswa teralihkan ke ponsel mereka. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan pendidikan yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan keterampilan sosial. Fenomena sakau digital bisa dilihat dari keseharian para pelajar yang lebih akrab dengan notifikasi TikTok daripada buku pelajaran.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka merasa sedang “belajar” hanya karena menonton video edukatif berdurasi 60 detik. Padahal, pendidikan sejati tidak cukup diserap dalam potongan-potongan konten cepat saji. Ia membutuhkan proses, kontemplasi, dan interaksi nyata. Lingkungan rumah adalah tempat pertama anak berkenalan dengan teknologi. Maka, kontrol dan keteladanan dari orang tua dalam menggunakan perangkat digital menjadi kunci. Jika di rumah anak dibebaskan bermain gawai tanpa batas, upaya sekolah pun akan sulit berhasil. Oleh karena itu, sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan sakau digital ini.
Detoks Digital
Langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi Sakau Digital adalah dengan regulasi batasan waktu untuk permainan online bagi anak di bawah 18 tahun hanya satu jam per hari, dan itu hanya berlaku pada Jumat, Sabtu, serta hari libur nasional. Langkah selanjutnya adalah Verifikasi Identitas Wajib dengan menggunakan sistem verifikasi identitas berbasis nama asli untuk mengakses permainan online dan media sosial. Pendidikan digital juga perlu ditingkatkan, pendidikan mengenai bahaya kecanduan internet, disertai dengan kampanye detoks digital di sekolah-sekolah dan masyarakat.
Pemerintah seharusnya ketat dalam menyaring konten digital, termasuk media sosial dan permainan, guna mencegah akses terhadap konten negatif. Selain itu, pemerintah harus menyediakan Rehabilitasi Digital, dengan pusat rehabilitasi untuk kecanduan digital yang menawarkan konseling dan terapi bagi para remaja. Membangun karakter yang kuat di dunia digital adalah hal yang krusial, dan Indonesia perlu memberikan perhatian lebih terhadap aspek ini.
Edukasi untuk orang tua tentang penggunaan teknologi yang sehat juga harus jadi prioritas di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan teknologi dari proses belajar, namun kita bisa memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan fungsi karakter dan kebijaksanaan. Karena pendidikan sejati adalah tentang pembebasan, bukan pelarian.(*)
Penulis Uswatun Hasanah Editor Zahrah Khairani Karim