
Penulis Muhammad Dhiya’Ulhaq Syahrial Ramadhan
PWMU.CO – Berdasarkan maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.1/MLM/I.0/E/2025 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah 1446 Hijriah dengan menggunakan metode wujudul hilal, Muhammadiyah telah menetapkan 10 Dzulhijjah 1446 H jatuh pada Jumat (6/6/2025).
Tentunya hal tersebut menimbulkan pertanyaan. Ketika Idul Adha tepat pada hari Jumat, apakah tetap melaksanakan shalat Jumat atau boleh tidak melaksanakan shalat Jumat? Penulis yang masih fakir ilmu ini akan mencoba menguraikan berbagai macam pendapat Ulama dan tentunya pendapat dari Muhammadiyah itu sendiri.
Perspektif Ulama
Ulama memiliki 4 (empat) pendapat terkait shalat jum’at ketika Hari Raya Ied yang jatuh pada hari Jumat:
Pendapat pertama: Diwajibkan melaksanakan shalat jum’at bagi orang yang menghadiri shalat Ied.
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, ketentuan ini tidak dapat diterapkan karena shalat Jumat dan shalat hari raya memiliki hukum yang berbeda. Shalat Jumat adalah wajib, sedangkan shalat hari raya hanya sunnah.
Oleh karena itu, ibadah yang bersifat wajib tidak bisa gugur hanya karena telah melaksanakan ibadah yang sunnah. Dengan kata lain, kewajiban untuk menunaikan shalat Jumat tetap berlaku meskipun hari tersebut bertepatan dengan hari raya.
Pendapat Abu Hanifah tersebut didasarkan pada hukum asal shalat Jumat yakni wajib.
Mereka berpendapat shalat Jumat hukumnya wajib berdasarkan dalil sebagamaina termaktub dalam QS. Al-Jum’ah: 9
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Pada ayat ini terdapat kata perintah (fi’lu al-Amri) untuk mengingat kepada Allah (shalat) dapat diartikan sebagai kewajiban. Pengertian wajib di sini berdasarkan kaidah ushulliyah “al-ashl fi al-amr lil wujub” (pada dasarnya perintah adalah wajib).
Pada ayat ini juga dipahami sebagai larangan melakukan jual beli, dengan adanya larangan ini dapat dipahami dengan kaidah ushulliyah “al-nahy an al-syai amr bididdihi” (suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah).
Pendapat kedua: Wajib melaksanakan shalat jum’at bagi penduduk balad (perkotaan). Sedangkan bagi penduduk qaryah (pedesaan) gugur kewajiban shalat jum’at.
Menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, apabila Hari Raya (Idul Fitri atau Idul Adha) jatuh tepat pada hari Jumat, maka ada hal yang perlu diperhatikan khususnya bagi penduduk qaryah (desa).
Jika penduduk desa tersebut masih termasuk dalam kewajiban shalat Jumat karena suara azan dari balad (kota) terdengar sampai ke tempat mereka, maka meskipun mereka telah melaksanakan shalat Hari Raya di pagi harinya, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku atas mereka.
Begitu juga bagi penduduk balad (kota), mereka tetap wajib menunaikan shalat Jumat. Dalam hal ini, menurut mazhab Syafi’i, tidak ada perbedaan pendapat (tidak ada khilaf) bahwa kewajiban shalat Jumat tidak gugur hanya karena telah melaksanakan shalat Hari Raya sebelumnya.
Jika Hari Raya jatuh pada hari Jumat, ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban shalat Jumat bagi penduduk qaryah (desa). Dalam hal ini, terdapat dua pendapat.
Namun, pendapat yang paling kuat dan dinyatakan secara jelas oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm serta dalam qaul qadim-nya, menyebutkan bahwa bagi penduduk qaryah, kewajiban shalat Jumat gugur jika mereka sudah melaksanakan shalat Hari Raya. Artinya, mereka tidak lagi diwajibkan untuk menghadiri shalat Jumat pada hari itu, berbeda dengan penduduk balad (desa utama) yang tetap wajib menunaikannya.
Imam Syafi’i menukil riwayat Ustman bin Affan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
قال أبو عبيد: ثم شهدت العيد مع عثمان بن عفان, فكان ذلك يوم الجمعة, فصلى قبل الخطبة ثم خطب فقال: ياأيها الناس, أن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان, فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر, ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له. (رواه البخارى)
Artinya: Abu Ubaid berkata, “kemudian aku menyaksikan hari raya bersama Ustman bin Affan, dan saat itu adalah hari Jumat. Dia shalat sebelum khutbah, lalu berkhutbah. Dia berkata, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya hari ini telah berkumpul pada kalian dua hari raya, barang siapa ingin menunggu shalat Jumat diantara mereka yang tinggal di pinggiran kota, maka silahkan menunggu, dan barang siapa ingin pulang, maka sungguh aku telah mengizinkannya. (HR. Bukhari).
Pendapat ketiga: Tidak ada kewajiban shalat jum’at selain mengerjakan shalat ashar bagi orang yang telah menghadiri shalat Id.
Pendapat ini dikemukakan oleh Atha’ yang disandarkan atas riwayatnya sendiri, ia berkata: “Hari Jum’at bertepatan dengan hari raya di masa Abdullah bin Zubair, ia berkata, ‘Dua hari raya menyatu’, lalu Abdullah bin Zubair menjamak keduanya dan shalat dua raka’at pada pagi hari, ia tidak menambah shalat apapun hingga shalat ashar.” (HR. Abu Daud) dengan sanad shahih sesuai syarat Muslim.
Diriwayatkan dari Atha’, ia berkata, “Abdullah bin Zubair shalat pada hari raya di hari Jum’at di pagi hari, setelah itu kami pergi untuk menghadiri shalat Jum’at namun Ibnu Zubair tidak keluar, kami pun shalat sendirian. Saat itu Ibnu Abbas berada di Thaif, saat datang kami sampaikan hal itu kepadanya, Ibnu Abbas berkata, Ia (melakukan) sesuai dengan sunnah.” (HR. Abu Daud) dengan sanad hasan atau shahih sesuai syarat Muslim.
Pendapat keempat: Telah gugur kewajiban melaksanakan shalat Jum’at, akan tetapi berkewajiban melaksanakan shalat dhuhur.
Dalam fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, Hanabilah berpandangan seseorang yang tidak menunaikan shalat Jum’at karena sudah menunaikan shalat Id masih tetap berkewajiban menunaikan shalat dhuhur. Tetapi pendapat yang paling kuat adalah tidak adanya kewajiban melaksanakan shalat dhuhur, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Zubair (dalil pendapat ketiga).
Sedangkan Imam tidak gugurnya kewajiban melaksanakan shalat Jum’at karena jika ia meninggalkannya, maka sulit dikerjakan oleh orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at, dan orang yang ingin mengerjakan shalat Jum’at walaupun ia tidak memiliki kewajiban mengerjakan shalat Jum’at.
Perspektif Muhammadiyah
Dalam masalah pelaksanaan shalat Jum’at ketika bersamaan dengan shalat Id, Muhammadiyah mengutip beberapa hadits, diantaranya:
Hadits pertama
عَنْ وَ هْبِ بْنِ كَيْسَا نِ قَلَ: اِ جْتَمَعَ عِيْدَا نِ عَلَى عَهْدِ بْنِ الزُّبَيْرِ، فَأَ خَّرَ الْخُرُوْجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارَ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى، وَ لَمْ يُصَلِّ لِنَّاسِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ. فَذَ كَرْتُ ذَا لِكَ لاِبْنِ عَبَّا سٍ، فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ
(رواه النسائ و أبو داود)
Artinya: Diriwayatkan dari Wahab bin Kasan, ia berkata: telah bertepatan dua hari raya (Jum’at dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat ke luar, sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar ke mushalla, lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar kemudian sembahyang. Dan dia tidak bersembahyang untuk orang ramai pada hari Jum’at itu (dia tidak mengadakan sembahyang Jum’at lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: perbuatanya itu sesuai dengan sunnah. (HR. an-Nasa’i dan Abu Daud).
Hadits kedua
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ»، قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ (رواه الجمعة الا البخرى و ابن ماجه)
Artinya: Diriwayatkan dari Nu’man nim Basyir ra, ia berkata: Nabi saw selalu membaca pada shalat kedua hari raya dan shalat Jum’at: Sabbihisma rabbikal a’la dan hal ataka hadisul ghasyiyah. Apabila berkumpul hari raya dan Jum’at pada suatu hari, Nabi saw membaca surat-surat itu di kedua-dua shalat. (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Hadits ketiga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Artinya: Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dalam pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah, ada perbedaan pandangan dalam memahami apakah shalat Jumat tetap perlu dilakukan jika hari raya jatuh pada hari Jumat. Sebagian orang memahami sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa jika hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) jatuh pada hari Jumat, maka shalat Jumat tidak perlu dilaksanakan. Namun, menurut Majelis Tarjih, pemahaman ini belum sepenuhnya tepat.
Untuk melengkapinya, perlu memperhatikan riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, termasuk Imam Muslim (kecuali Imam Bukhari dan Ibnu Majah). Dalam riwayat ini, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw tetap melaksanakan shalat Jumat meskipun hari itu juga adalah hari raya.
Dari sini, melalui pendekatan isyaratun nash (petunjuk tersirat dari teks hadis), dapat dipahami bahwa shalat Jumat tetap dianjurkan untuk dilakukan meskipun hari raya jatuh pada hari yang sama.
Dalam hadits ketiga, Nabi menyatakan wainna mujammi’un, maka apa yang dilakukan Nabi itu perlu mendapat perhatian kita.
Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw tetap melaksanakan shalat Jumat meskipun hari tersebut juga merupakan hari raya, seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Memang ada riwayat yang menyebutkan adanya keringanan untuk tidak shalat Jumat jika hari raya jatuh pada hari Jumat. Namun, keringanan ini ditujukan bagi mereka yang tinggal sangat jauh dari tempat shalat.
Pada masa Nabi, mereka yang jauh harus menempuh perjalanan panjang untuk shalat Id di pagi hari, lalu kembali lagi siang harinya untuk shalat Jumat. Ini tentu cukup menyulitkan dan melelahkan bagi mereka.
Karena itu, berdasarkan riwayat yang lebih lengkap, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa Nabi saw tetap melaksanakan kedua shalat tersebut: shalat Id di pagi hari dan shalat Jumat di siang harinya. Oleh karena itu, warga Muhammadiyah dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jumat meskipun hari itu adalah hari raya. Shalat Jumat dapat dilakukan di masjid-masjid yang mudah dijangkau setelah sebelumnya melaksanakan shalat Id di pagi hari.
Apabila dikorelasikan dengan keadaan saat ini yang mana masjid sudah banyak tersebar diberbagai daerah bahkan jarak antar masjid saling berdekatan terutama dengan tempat shalat Id dan jarak antara tempat tinggal dan masjid tidak berjauhan, maka penulis berpendapat bahwa melaksanakan shalat Id di pagi hari, dan tetap melaksanakan shalat Jumat di siang harinya.
Kecuali daerah yang terpencil, jarak antara tempat tinggal dan masjid yang amat jauh begitu pula tempat antara shalat Id dan shalat Jum’at harus menempuh perjalanan yang panjang maka kewajiban untuk melaksanakan shalat Jum’at itu gugur. Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun