
PWMU.CO – Ibadah haji bukan sekadar ritus fisik yang dilaksanakan oleh jutaan umat Islam setiap tahun dari berbagai penjuru dunia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual yang sangat mendalam, mulai dari makna tauhid, kepatuhan, hingga cinta kepada Allah. Tempat-tempat suci seperti Mina, Arafah, dan prosesi ibadah kurban merupakan bagian penting dari rangkaian haji. Padanya menyimpan kisah pengorbanan luar biasa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam—seorang hamba yang berhasil melewati ujian terberat dalam sejarah kenabian.
Hari Arafah, yang jatuh pada 9 Dzulhijjah, merupakan hari puncaknya ibadah haji. Di Padang Arafah, para jamaah haji berkumpul, berdoa, dan memohon ampun kepada Allah. Hari tersebut menjadi momentum spiritual yang menggambarkan kesadaran manusia akan dosa-dosanya, ketergantungannya kepada Allah, dan harapan akan ampunan-Nya.
Dalam hadisnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةٌ
Haji itu (berdiri di) Arafah (HR. Tirmidzi no. 889)
Di Padang Arafah, kita diajak mengenang ketaatan Nabi Ibrahim dan kepasrahan Ismail dalam memenuhi perintah Allah untuk berkorban, sebagai bukti kepatuhan mereka kepada-Nya. Di tempat inilah pelajaran tentang ketundukan total kepada Allah bermula.
Dari Arafah, jamaah melanjutkan pergerakan menuju Mina untuk melakukan ritual melontar jumrah.
Ritual ini menjadi simbolisasi penentangan atau penolakan terhadap ajakan setan untuk menolak perintah Allah. Dalam kisah Nabi Ibrahim, sebanyak tiga kali setan dalam mempengaruhi Nabi Ibrahim dan Ismail agar membatalkan niatnya melakukan persembahan pengorbanan. Sebaliknya,, Ibrahim justru melempari setan dengan bebatuan sebagai aktualisasi penolakan terhadap godaan syaitan.
Dalam firman-Nya, Allah memuji keteguhan hati Nabi Ibrahim:
وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ. قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ
“Dan Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. As-Saffat: 104-105)
Perlu diketahui, Mina bukan sekedar tempat melontar jumrah atau batu. Mina juga menjadi medan kesadaran untuk menolak segala gangguan dalam kehidupan yang bersumber dari bisikan hawa nafsu maupun setan.
Selain menjalankan ritual ibadah di Padang Arafah dan di Lembah Mina, jamaah haji juga melakukan ritual ibadah kurban. Ibadah kurban menjadi simbol tertinggi tentang kecintaan dan ketundukan kepada Allah.
Sekedar diketahui, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “kurban” merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari bahasa Arab “qurban” yang berarti dekat atau mendekatkan diri.
Kurban atau qurban berasal dari kata qaruba yang berarti mendekat. Ibadah kurban merupakan cara pendekatan diri kepada Allah melalui penyembelihan hewan ternak. Perintah penyembelihan hewan kurban, selain sebagai bentuk ketaatan atas ketentuan Allah, juga sekaligus memiliki historikal atau mengenang sejarah Nabi Ibrahim. Yaitu sejarah Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putranya, Ismail, atas perintah Allah, sebagai bentuk cinta dan kepatuhan tertinggi kepada Rabb-nya.
Allah berfirman: “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.’” (QS. As-Saffat: 103-105)
Dan Nabi Muhammad pun bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam [manusia] pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya”. (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kurban bukan hanya simbolisasi ritual dalam peribadatan, lebih dari itu juga membawa pelajaran tentang keikhlasan, pengorbanan, dan cinta kepada Allah yang melebihi kecintaan pada dunia maupun keluarga.
Kisah Ibrahim di Arafah, Mina, dan dalam ibadah kurban, selain memiliki pesan kesejarahan, juga sebagai cermin dalam berinteraksi kepada Allah melalui kepatuhan terhadap perintah-Nya. Kurban pada Idul Adha merupakan simbol iman yang hidup, cinta yang tulus, dan ketundukan yang sempurna.
Menghidupkan nilai-nilai pengorbanan di era kehidupan modern menjadi tantangan sekaligus kebutuhan tersendiri. Karena itu, generasi saat ini tentu sangat memerlukan teladan seperti keteladanan dari Ibrahim dan Ismail dalam mengorbankan ego, kesenangan, bahkan perasaan demi kepatuhan kepada Allah.
Akhirnya, semoga ibadah haji dan ibadah kurban menjadi sarana kita menapaki jejak para nabi dan menanamkan cinta Ilahi yang tak tergoyahkan dalam jiwa kita dan generasi setelah kita. Amiin… (*)
Editor Notonegoro