
Oleh: Diyas Naf’i – Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Universitas Muhammadiyah Malang.
PWMU.CO – Haji dan kurban merupakan ibadah yang telah Allah syariatkan dalam agama Islam. Bahkan, haji termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Quran Surat Ali Imran ayat 97.
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu apa pun) dari semesta alam. (QS Ali Imran: 97)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun mengenai ibadah kurban, Allah berfirman dalam Surah al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
Artinya: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”
Pensyariatan haji dan kurban menyimpan makna sejarah yang sangat mendalam, sehingga umat Islam dapat mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut. Misalnya, kisah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, yang menunjukkan semangat juang dan keteguhan iman luar biasa saat menghadapi cobaan berat.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istri dan anaknya, Ismail, di sebuah lembah tandus tanpa bekal yang memadai. Namun, Siti Hajar tidak kehilangan semangat dan kepercayaannya kepada Allah SWT.
Ketika persediaan habis, Siti Hajar terus berupaya mencari air dan makanan. Meski menurut logika manusia usaha itu tampak mustahil, keyakinannya kepada pertolongan Allah tidak pernah luntur. Akhirnya, perjuangannya berbuah manis: Allah menghadiahkan air zamzam, yang hingga kini menjadi berkah bagi seluruh umat Muslim.
Bahkan, upaya Siti Hajar mencari rezeki diabadikan dalam rukun haji berupa sa’i dari Bukit Shafa ke Marwah—sebuah bentuk penghargaan Allah atas perjuangan dan keimanan hamba-Nya.
Ibadah kurban pun demikian. Ketika Nabi Ibrahim A.S. mendapat mimpi perintah Allah untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai, Ismail, ia menyampaikan hal tersebut kepada sang anak. Ismail kecil memberikan jawaban yang luar biasa:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS As-Saffat: 102)
Godaan Iblis pun datang untuk menggoyahkan iman Nabi Ibrahim, namun beliau tetap teguh. Saat hendak melaksanakan perintah tersebut, Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan sebagai bentuk kasih sayang dan penghargaan atas ketaatan mereka. Peristiwa ini menjadi awal disyariatkannya ibadah kurban yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Kisah-kisah tersebut mengandung pelajaran penting tentang bagaimana manusia seharusnya menyikapi cobaan hidup. Di era modern, banyak orang mengalami overthinking—berpikir berlebihan hingga berdampak pada kesehatan mental.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% masyarakat Indonesia mengalami overthinking akibat kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan.
Namun, melalui refleksi dari ibadah haji dan kurban, kita diajak untuk menanggapi ujian duniawi dengan sikap positif. Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail mengajarkan bahwa ketaatan, keikhlasan, dan pikiran yang jernih dapat membantu menghadapi kesulitan hidup, bahkan yang tampak mustahil di mata manusia.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa ibadah haji dan kurban bukan sekadar ritual fisik atau tahunan semata, melainkan cerminan ketundukan total kepada Allah SWT.
Di tengah dunia yang penuh kebisingan pikiran ini, dua ibadah tersebut mengajarkan bahwa ketenangan justru hadir saat hati pasrah kepada-Nya. Tidak perlu memikirkan segalanya secara berlebihan; cukup hadapi dengan iman, keikhlasan, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.(*)
Editor Zahrah Khairani Karim