
Oleh: Rahmat Syayid Syuhur (Alumni Ma’had Al Ittihad Al Islami Camplong, dan Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) PDM Gresik.
الحمد لله الذي شرع لعباده القربان، وجعله وسيلة للتقوى والإحسان، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، صلّى الله عليه وعلى آله وصحبه أجمعين.اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ، اللهُ أكبرُ كبيرًا، والحمدُ للهِ كثيرًا، وسبحانَ اللهِ بكرةً وأصيلًا، وأشهدُ أنْ لا إلهَ إلاَ اللهُ الملكُ القدوسُ السلامُ، وأشهدُ أنَّ نبينا محمدًا عبدُ اللهِ ورسولُه خيرُ من صلَّى وصامَ، وحجَّ بيتَ اللهِ الحرامَ. صلَّى اللهُ عليه وعلى آلهِ وصحبهِ والتابعينَ لهم بإحسانٍاللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ، لا إله إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ
Jamaah salat idul adha yang dimuliakan Allah.
Hari ini adalah hari yang agung. Hari di mana jutaan umat Islam menunaikan ibadah haji di tanah suci, dan seluruh umat Islam sedunia menyembelih hewan kurban ditempatnya masing masing sebagai bentuk ketaatan seorang hamba kepada Sang Kholiq Allah Jalla Jalaluh.
Karena di antara salah satu ibadah yang sangat agung dalam Islam adalah ibadah kurban. Ibadah ini bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan simbol ketaatan, bukti keimanan, dan bentuk nyata ketakwaan seorang hamba kepada Rabb-Nya.
Allah Swt berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menunjukkan bahwa hakikat dari kurban adalah menunjukkan ketakwaan, bukan sekadar ritual fisik. Kurban adalah ekspresi cinta dan kepatuhan kita kepada Allah,
.اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ، لا إله إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ
Jamaah salat idul adha yang dimuliakan Allah.
Idul Adha adalah salah satu bentuk ketaatan dan pengorbanan, dan satu dari kisah paling menyentuh sepanjang sejarah manusia adalah kisah ayah dan anak, kholilullah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihissalam.
Renungkanlah, dialog antara seorang ayah bersama anaknya.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata, wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Apa yang dijawab Ismail, sebagai anak yang baru beranjak remaja? Apakah ia membantah? Apakah ia marah dan mencaci ayahnya? tidak, justru beliau menjawab:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Inilah anak yang saleh. Anak yang tidak hanya patuh kepada ayahnya, tapi lebih dari itu, ia percaya bahwa perintah Allah pasti baik, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawanya.
Nabi Ismail adalah cerminan anak yang taat, penuh adab, dan penuh takwa. Tapi perlu diingat, anak seperti ini tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari pendidikan yang benar, dari orang tua yang dekat dengan Allah, dari ayah yang penyayang dan penuh hikmah.
اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ، لا إله إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ
Jamaah salat idul adha yang dimuliakan Allah.
Sosok pribadi Nabi Ismail berbeda dengan anak zaman sekarang, yang mereka cenderung membantah dan melawan nasehat maupun perintah orang tua yang baik.
Tanpa berfikir secara jernih apakah perbuatanya termasuk hal yang dilarang oleh agama dan masuk kategori durhaka, seperti halnya percakapan di bawah ini.
Ketika seorang ayah berbicara kepada anaknya: Nak, Ayah mau bicara sebentar. Ini penting.
Anak: Hah, lagi-lagi nasihat? Mau nyuruh apa lagi, Yah?
Ayah: kamu sudah mulai beranjak dewasa, sudah saatnya kamu lebih serius belajar agama. Ayah ingin kamu mulai belajar menghafal Al-Quran dan lebih rutin ke masjid.
Anak (dengan nada tinggi): Apa?! Serius, Yah? Ayah mimpi aja langsung nyuruh aku berubah total? Ini hidup aku, bukan hidup Ayah!
Ayah: Nak, Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Seperti Nabi Ibrahim yang mendapat perintah dari Allah, dan anaknya, Ismail, langsung taat. Ayah pun ingin kamu jadi anak yang taat pada perintah Allah.
Anak (membantah keras): Ayah jangan banding-bandingin aku sama Nabi! Zaman sekarang beda. Aku bukan Ismail, dan Ayah juga bukan Nabi Ibrahim!
Ayah (lembut tapi tegas): Tapi Nak, Allah tetap Allah, dan perintah-Nya tetap benar. Ketaatan itu tak berubah walau zaman berubah.
Anak (ketus): Udahlah, Yah. Jangan maksain kehendak. Aku belum siap, dan mungkin gak akan siap.
Itu merupakan potret gambaran sebgaian anak zaman sekarang yang hidup penuh dengan godaan, ketika kita tidak bisa mendidik dan memberikan bekal mereka dengan mengenalkan agama sejak dini maka penyesalan sepanjang masa akan kita rasakan. Dan tentunya setiap orang tua pasti ingin memiliki anak seperti Nabi Ismail. Tapi bagaimana caranya?
Pertama, tanamkan tauhid sejak dini (Pendidikan agama). Nabi Ibrahim mendidik anak-anaknya untuk hanya menyembah Allah, bukan dunia, bukan manusia.
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Tatkala Rabb-nya berfirman kepadanya, Tunduklah! Dia menjawab, Aku tunduk kepada Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Baqarah: 131)
Kedua, doakan anak kita dengan sungguh-sungguh disetiap saat, seperti halnya Nabi Ibrahim berdoa bahkan sebelum Ismail lahir:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabb-ku, anugerahkan kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang salih.” (QS. Ash-Shaffat: 100).
Ketiga, Jadilah setiap aktifitas yang dilakukan sebagai teladan dalam ibadah.
Anak tidak mendengar nasihat, mereka melihat contoh. Orang tua yang rajin shalat, sabar, dan jujur akan lebih mudah membentuk anak yang salih salihah.
اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ، لا إله إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ
Jamaah salat idul adha yang dimuliakan Allah.
Idul adha bukan sekadar hari besar. Ia adalah momen kebangkitan spiritual keluarga.
Kita tidak butuh anak-anak yang cerdas secara dunia, tapi durhaka kepada orang tua. Kita butuh generasi yang seperti Nabi Ismail: berani, taat, shalih, dan sabar.
Dan semua itu bermula dari rumah. Dari didikan ayah dan ibu. Dari lingkungan iman. Dari doa yang terus-menerus. Dari keteladanan yang mereka lihat setiap saat.
Akhirnya, mari kita berdoa agar Allah menerima semua ibadah kita, membimbing kita agar menjadi hamba yang selalu siap berkorban demi kebaikan, dan menjadikan kita pribadi yang kuat menghadapi segala ujian.
Dan keluarga kita menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah serta anak anak kita menjadi anak yang shalih sholihah.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
Ya Allah, ampunilah kaum Muslimin dan Muslimat,
وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan,
الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ
baik yang masih hidup maupun yang telah wafat,
إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan doa,
وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ، وَيَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ
Wahai Tuhan yang memenuhi segala kebutuhan dan menolak segala bala,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً،وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِوَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ،وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ،وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَوَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Disampaikan di Lapangan Masjid Nurul Huda. Jumat (6/6/2025).
Editor M Tanwirul Huda
