
PWMU.CO – Bagaimana ketika agama dimanfaatkan sebagai instrumen ideologis dalam arena politik? Apa dampaknya terhadap kualitas demokrasi serta kebebasan berpikir di masyarakat?
Dalam dinamika politik modern saat ini, fenomena politisasi agama kerap kita jumpai sebagai upaya untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaan. Ruang publik pun penuh narasi keagamaan sebagai bungkus kepentingan politik praktis. Akibatnya, ruang yang seharusnya menjadi wadah pertukaran ide, gagasan, dan solusi atas berbagai persoalan justru tercemar oleh polarisasi dan manipulasi.
Dalam dinamika ini, prinsip-prinsip religius berubah menjadi alat untuk meraih dukungan massa. Di sisi lain, diskusi yang seharusnya berlangsung secara rasional justru berubah dengan kata-kata religius untuk menyembunyikan ambisi atau kepentingan politiknya. Dalam pertarungan ideologi, agama kemudian sebagai tameng, simbol, bahkan narasi politik—bukan untuk menjaga akhlak masyarakat, melainkan demi meraih suara dan menduduki jabatan kekuasaan.
Penggunaan agama dalam ranah politik bukanlah hal atau fenomena yang baru. Dalam sejarah Islam, dalam pemerintahan Bani Umayyah, narasi keagamaan seperti hadis Nabi, telah menjadi alat politis untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Memperalat hadis Nabi oleh para penguasa dan elit agama untuk mengontrol masyarakat, baik untuk kepentingan sosial maupun kepentingan politik. Tujuan adalah untuk menanamkan keyakinan terhadap masyarakat bahwa taat kepada penguasa atau para elit sama dengan taat kepada Tuhan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukan semata-mata persoalan simbol agama, melainkan agama juga digunakan untuk membentuk makna baru demi kepentingan ideologi yang dianut oleh penguasa. Fenomena semacam ini kerap terlihat dalam keragaman sejarah dan budaya, di mana keyakinan terhadap kuasa Tuhan dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan dan mendorong pengambilan keputusan politik tertentu.
Sejarah menunjukkan bahwa agama dapat bermanfaat untuk memperkuat legitimasi politik . Paling tidak, hal ini pernah dipraktikkan oleh sejumlah partai politik di Indonesia, seperti: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mereka memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongan/kelompok.
Praktik seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Misalnya di India, Turki dan lain-lain. Tujuannya sama, untuk membentuk identitas kelompok, memupuk kesetiaan, dan menekan perbedaan.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan sejarah politik yang rumit, memiliki praktik yang unik dalam memadukan agama dan politik. Agama tidak hanya dipandang sebagai pedoman moral, tetapi juga kerap digunakan sebagai alat kampanye politik, untuk menjatuhkan lawan, dan bahkan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan.
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh nyata bagaimana politisasi agama sedemikian negatif. Peristiwa ini memicu demonstrasi terbesar pasca Reformasi 1998. Hal tu menunjukkan bahwa masalah keagamaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.
Dalam prosesnya, lingkungan sosial dan publik dapat berubah menjadi medan pertempuran ideologi yang berpotensi menghancurkan kesatuan masyarakat. Menggunakan narasi keagamaan untuk menggiring opini publik, bahkan menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menilai kualitas seorang pemimpin. Ketika tafsir agama dimanfaatkan sebagai alat untuk menentukan kelayakan politik seseorang, maka rekam jejak dan kemampuan nyata mereka cenderung diabaikan. Sebaliknya, kedekatan dengan simbol-simbol agama menjadi fokus utama. Hal ini berisiko menciptakan citra pemimpin yang semu namun mudah diterima oleh publik. Seringkali mengutip ayat-ayat suci tanpa konteks yang tepat. Akibatnya, masa depan demokrasi kita berada dalam ancaman serius: masyarakat bisa terbelah, kesenjangan sosial semakin melebar, dan rasa nasionalisme pun terkikis.