
PWMU.CO – Di antara hari-hari yang Allah tetapkan sebagai yang paling agung, 9 Zulhijjah sebagai momen kontemplatif yang mendalam. Bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji, puasa Arafah bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah peluang emas untuk merefleksikan eksistensi diri di hadapan keagungan Ilahi. Namun, seringkali kita larut dalam rutinitas ritual, hingga lupa bahwa malam menjelang Arafah justru menyimpan keheningan spiritual yang sarat makna.
Malam ini, sebelum fajar menjemput hari yang mulia itu, merupakan waktu ideal untuk bersimpuh, menengadah dalam doa, dan menyulam kembali harapan yang barangkali telah rusak oleh dosa dan kelalaian.
Puasa Arafah tidak sekedar tentang proses penghapusan dosa yang telah terjadi selama dua tahun sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ»
(رواه مسلم في صحيحه، رقم 1162)
Dari Abu Qatadah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1162)
Tetapi mengapa hanya berharap pengampunan teknis, sementara jiwa kita sendiri jarang diperiksa secara substansial? Apakah cukup hanya mengharap keringanan dosa, padahal hati kita terkadang masih keras, ego masih tinggi, dan kehidupan sehari-hari jauh dari nilai takwa?
Malam sebelum Arafah seharusnya menjadi momentum perenungan eksistensial. Di saat langit malam membisu, kita diajak kembali menjadi manusia yang sadar akan kefanaan. Doa malam bukan hanya sarana meminta, tetapi ruang dialog batin untuk jujur pada diri sendiri tentang “siapa kita sebenarnya di hadapan Tuhan?” Kita yang mungkin selama ini beramal bukan karena keikhlasan, tapi untuk pengakuan. Kita yang lebih sering membaca komentar sosial media ketimbang merenungkan ayat-ayat langit.
Satu doa yang bisa kita baca malam ini sebagai persiapan menyambut Arafah adalah:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي فِيمَنْ غَفَرْتَ لَهُ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ، وَكُتِبَ فِي دِيوَانِ السُّعَدَاءِ، وَأَعْتَقْتَهُ مِنَ النَّارِ
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang Engkau ampuni pada hari Arafah, yang Engkau catat dalam golongan orang-orang bahagia, dan yang Engkau bebaskan dari neraka.”
Ini bukan doa seremonial, tapi doa yang menuntut kejujuran, kekhusyukan, dan keberanian membongkar dosa-dosa yang kita sembunyikan dari dunia, tapi tak pernah lolos dari pandangan Tuhan.
Ironisnya, dalam era digital dan era keterhubungan sosial yang masif, momen sakral seperti Arafah justru dikepung oleh distraksi. Banyak yang lebih sibuk menyiapkan konten ucapan Arafah di media sosial daripada menyiapkan ruh-nya untuk benar-benar bersatu dengan keheningan malam. Banyak yang hanya ikut-ikutan puasa karena tren, tanpa makna yang benar-benar hidup di dalam jiwa. Ini tantangan spiritual kita hari ini, “bagaimana memaknai Arafah secara otentik di tengah dunia yang semakin penuh simbol dan minim esensi?”
Karena itulah, malam Arafah ini bukan jangan melaluinya dalam kebisingan—baik suara maupun pikiran. Kita membutuhkan keheningan, membutuhkan kesendirian spiritual. Kita perlu menata hati untuk menyambut fajar dengan jiwa yang ringan dari dosa dan penuh tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika Arafah adalah gerbang dan puasa adalah wasilah, maka doa malam ini adalah kuncinya. Maka jangan tidur sebelum engkau mengetuk pintu langit dengan harapan dan air mata. Jangan lalai dalam memohon maghfirah ketika Allah sedang membanggakan para hamba-Nya yang berdoa pada malam menjelang Arafah. Dan jangan pernah menganggap amalan kecil tidak berarti, sebab bisa jadi satu malam ini yang akan mengubah arah hidup kita selamanya.
Jika hidup ini adalah perjalanan menuju kampung akhirat, maka malam Arafah adalah salah satu pos pemberhentian paling penting. Di sanalah kita seharusnya mengisi ulang iman, membakar ego, dan menyiram kembali akar takwa yang mulai mengering.
Semoga malam ini menjadi malam yang tak kita lewatkan begitu saja. Semoga apa yang kita lakukan bukan hanya rutinitas, tapi momentum transendental untuk kembali pada Tuhan dengan lebih jujur dan lebih utuh.(*)
Editor Notonegoro