
PWMU.CO – Suksesnya perkaderan di akar rumput bukan hanya pada materi dan metode, tetapi juga pada relasi antar pelakunya. Seringkali yang terjadi justru adanya kesenjangan antara Pimpinan Cabang/Ranting Muhammadiyah (PCM/PRM) dengan generasi mudanya. Selain bahasa ideologis yang melangit, juga cara komunikasi yang kaku serta pendekatan yang otoritatif. Akibatnya, generasi muda menjadi enggan terlibat. Karena itulah, perlu ada pembaharuan pada pola pendekatan dari pimpinan dan instruktur ke kalangan kader muda.
Dalam psikologi sosial, ada istilah “significant others”—orang-orang penting yang mempengaruhi identitas dan perilaku seseorang. Jika kader muda tidak memiliki figur teladan dan tempat bertumbuh di Muhammadiyah, tentu mereka akan mencari figur alternatif di luar. Karena itu, Pimpinan Muhammadiyah level akar rumput ini perlu menjadi mentor yang otentik yang bisa hadir dan merangkul yang muda..
Harus ada perubahan paradigma dari “mengontrol kader” yang otoritatif menjadi “membina kader” yang penuh cinta dan perhatian. Kader bukanlah individu yang hanya dibutuhkan sebagai pelaksana teknis dalam kegiatan. Kader juga perlu diajak berdiskusi, menyusun perencanaan program, mendapat kesempatan berkreasi, dan memperoleh apresiasi. Proses kaderisasi harus menjadi ruang persemaian
Pada dasarnya di Muhammadiyah telah figur-figur yang dapat menjadi ‘significant others’ bagi kalangan muda. Misalnya, Profesor Abdul Mu’ti yang merupakan sosok figur intelektual yang humoris dan hangat. Banyak orang yang kagum dengan cara pendekatan beliau karena terasa lebih mengakar. Sedang di tempat lain kadang dijumpai pimpinan yang cenderung menjaga jarak dan mengedepankan formalitas yang kaku.
Tapi tentu saja para kader Muhammadiyah tidak cukup hanya bertumpu pada satu figur. Sebaliknya, justru harus menemukan fitur-figur lain, utamanya yang dari kalangan muda seperti Iqbal Aji ataupun Azaki Khoirudin. Mereka ini tampaknya cukup mampu untuk menjadi ‘Abdul Mu’ti muda’ di kalangan kaum muda Muhammadiyah.
Menumbuhkan militansi melalui kreativitas
Militansi kader tidak tumbuh dari tekanan atau paksaan, namun melalui kekuatan inspirasi dan kesadaran. Inovasi perkaderan harus bertujuan untuk membentuk militansi cerdas dan kreatif, bukan fanatisme sempit. Militansi semacam ini lahir dari pemahaman ideologis yang kuat, keterlibatan dalam sosial yang nyata, dan pengalaman spiritual yang mendalam.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah perlu mendorong lahirnya kader-kader dalam berbagai bidang. Misalnya bidang content creator, community organizer, inovator sosial, atau pengusaha muda yang berbasis nilai Islam Berkemajuan. Di sinilah peran perkaderan sebagai “inkubator kader unggul” sangat dibutuhkan. Bukan kaderisasi yang hanya melahirkan kader pasif-apatis, miskin ide atau gagasan, dan jauhd ari denyut kehidupan umat.
Dalam upaya untuk mencapai tujuan ini, kita perlu mengusung paradigma perkaderan yang sifatnya ‘aktivasi’ ketimbang ‘pasifikasi’. Perkaderan kita harus berorientasi pada pengalaman kader dalam membuat, menciptakan, merancang, daripada hanya mendengar dan mencatat. Dalam perspektif intelektual kritis, kader harus memiliki rasa resah dalam pemikiran sehingga ada jejak empiris secara lebih bermakna. Khususnya pasca mengikuti kegiatan perkaderan formal.
Porsi belajar ‘aktifasi’ memang sudah ada, namun porsinya sangat kecil daripada ‘pasifikasi’. Jika diperbandingkan, mungkin 70 persen pasifikasi dan 20 persen pasifikasi. Karena itu, kedepan perbandingan ini harus menjadi terbalik, atau minimal sama. Instruktur atau pengurus Persyarikatan jangan merasa ketakutan karena merasa panggungnya terancam dengan kehadiran para kader muda.
Sebaliknya, Pimpinan Persyarikatan perlu bersyukur dan menyambut antusiasme kader dengan munculnya kader-kader muda dengan kemampuan intensitasnya dalam berdiskusi, memiliki pemikiran kritis dan sekaligus mampu menawarkan solusi pada sejumlah persoalan persyarikatan.