
PWMU.CO – Terbatasnya akses antara Perguruan Muhammadiyah Bulubrangsi dengan Ponpes Al Ismaili Bulubrangsi tergambar jelas saat anak-anak yang ingin melihat prosesi pemotongan hewan kurban, Ahad (8/6/2025). Mereka terhalang dengan adanya tembok pembatas bagai wilayah Palestina dan Israel yang dibangun untuk membatasi kedua instansi tersebut.
Anak-anak dari Perguruan Muhammadiyah Bulubrangsi terlihat memanjat agar kepalanya sampai di lubang jendela untuk melihat pemotongan hewan kurban di Ponpes Al Ismaili.
Menjadi dilema di tengah hubungan yang kurang harmonis antara kedua instansi yang sebenarnya pendirinya dari Tokoh yang sama. Ranting Muhammadiyah Bulubrangsi mulai muncul embrionya sejak dibawa oleh KH Ismaili, nama yang kemudian dibuat nama Pondok Pesantren Al Ismaili oleh keluarganya.
Pesantren ini berdiri dengan cita-cita yang mulia untuk mengembangkan pendidikan Muhammadiyah Bulubrangsi karena jumlah siswa dan kualitas pendidikannya mengalami stagnasi berkepanjangan.
Berdirinya Pondok Pesantren Al Ismaili bertekad untuk membawa santri-santri dari luar desa untuk mengikuti boarding school di Pondok Pesantren Al Ismaili, Namun rencana tidak semulus apa yang dicita-citakan. Sekitar 2017-2019 keinginan untuk berkolaborasi bertepuk sebelah tangan.
Konflik berkepanjangan ini sudah bagaikan Palestina dengan Israel, hati nurani santri-santriwati Al Ismaili dan siswa-siswi Perguruan Muhammadiyah Bulubrangsi seolah tercabik karena terbatasnya hubungan keduanya puncaknya awal tahun 2025. Satu-satunya jembatan penghubung antara kedua instansi ini harus ditutup dengan tembok setinggi 2 Meter.
Di Eropa, Amerika, Cina, Jepang yang menggaungkan kerukunan antar umat beragama seolah tidak berlaku antara kedua instansi se-agama di Desa Bulubrangsi ini. Pantas beberapa ulama’ akhir-akhir ini mengajak umat Islam untuk bersama menjaga kerukunan se-agama Islam.
Kasus Ponpes Al Ismaili dengan Perguruan Muhammadiyah Bulubrangsi semoga tidak berkepanjangan seperti konflik Palestina dan Israel. Tokoh keduanya harus dewasa dalam menyelesaikan persoalan ini.
Komitmen dakwah bersama untuk menegakkan agama Allah SWT harusnya tidak berbalut dengan kepentingan sektoral. Kolaborasi adalah kunci sukses ketika banyak faktor pemecah belah. (*)
Penulis Azrohal Hasan Editor Wildan Nanda Rahmatullah