
PWMU.CO – Bayang-bayang kusut merenung di kesendirian yang dalam.
Kau pun begitu jauh, oh lebih jauh dari siapapun.
Merenung, melepaskan burung-burung, memecahkan bayang-bayang,
Mengubur lampu-lampu.
(Pablo Neruda)
Puisi Pablo Neruda tersebut mengantar kisah tentang seorang teman, sebut saja Hendra. Teman tersebut dapat dikata nakal. Hobinya mabuk-mabukkan dengan minuman keras, dan acap kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri dan anak-anakya.
Namun, Allah al-Muqollibal Qulub, Dzat yang Maha membolak-balikkan hati hambaNya. Satu ketika sebuah nasihat dari seorang kiai menembus hatinya yang paling dalam.. Hendra pun menyatakan bertaubat. Sang Kiai pun menyarankan kepada Hendra untuk melepaskan beberapa ekor burung sebagai salah satu bentuk kaffarah. Alhasil, Hendra pun menjalankan nasihat itu.
Dalam tidurnya di suatu malam, Hendra bermimpi sedang melihat burung-burung yang pernah ia lepaskan itu datang kepadanya. Burung-burung itu bertengger di kepala, pundak, dan kedua tangannya. Makhluk bersayap itu mengucapkan salam dan rasa terima kasih kepadanya.
Apa yang dialami Hendra itu telah mengajak ingatan saya terhadap salah satu kisah dalam kitab Al-Mawaidz Usfuriyah yang banyak dikaji di pesantren-pesantren tradisional. Utamanya dalam menjelaskan esensi hadis;
الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء
Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Allah Sang Maha Pengasih, Maka kasihilah siapapun di bumi, maka kamu akan dikasihi yang ada di langit (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).
Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al-Usfuri membalutnya dengan kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhudan seekor burung pipit.
Alkisah, suatu hari Umar bin Khattab menyusuri jalanan kota Madinah. Di tengah asyiknya berjalan, ia mendapati seorang anak kecil memegang burung pipit. Burung tersebut menjadi mainan oleh anak itu. Umar yang merasa kasihan, kemudian membelinya dan kemudian melepaskannya. Ketika Umar wafat, banyak di antara sahabat yang melihatnya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, mereka menanyakan tentang keadaan Umar.
“Apa yang Allah lakukan kepadamu?”
“Allah telah mengampuniku dan memaafkanku”, Jawab Umar
“Dengan amal apa? dengan kedermawanan, keadilan, atau kezuhudan?”
“Ketika kalian meletakkanku di dalam kubur, memendam dengan tanah dan meninggalkanku sendirian―datanglah dua malaikat yang gagah hingga membuat akalku tak dapat berpikir dan persendianku gemetar karenanya. Ketika hendak menanyakan padaku, terdengar suara “tinggalkan hamba-Ku dan jangan kalian menakutinya. Aku menyayanginya dan memaafkannya karena dia telah menyayangi seekor burung di dunia, maka Aku menyayanginya di akhirat”.
Bagi saya, kisah Khalifah Umar tersebut bukanlah fabel spiritual. Tapi merupakan tafsir relasi antara manusia dengan alam, dengan makhluk yang tak berdaya. Bukankah Nabi Muhammad diutus di dunia ini sebagai rahmatan lil alamin? Rahmat bagi alam semesta? Lebih dari itu, kisah ini menjadi pesan penting bahwa Tuhan menurunkan RahmatNya bisa melalui berbagai cara, termasuk melalui sayap kecil seekor burung pipit. Karena Tuhan Maha Kuasa, Dia tidak selalu mengukur manusia melalui tumpukan ibadah atau sejuta gelar duniawi.
Nilai-nilai religiusitas tidak mesti tumbuh dalam menara gading yang tak terjamah tangan manusia. Kadang hal yang paling kecil dan sepele, yang tak terdeteksi algoritma sosial― justru lebih berharga dan lebih mulia di sisiNya.
Menarik kita cermati komentarnya Goenawan Mohamad (GM) pada kisah Umar bin Khattab ini. Dalam Catatan Pinggir Majalah Tempo edisi 31 Mei 1986 GM mengatakan, “burung yang dibeli Umar dan dilepaskannya ke angkasa itu mengandung sebekas sentuhan Yang Mulia, dan karena itulah ia punya martabatnya sendiri”.
Sentuhan Yang Mulia yang dimaksud GM adalah kasih sayang, sesuatu yang menjadi esensi semua agama. Karena Kasih Sayang (Rahman-Rahim) merupakan salah satu sifat-Nya, bahkan sifat yang paling dominan. Maka, setiap Muslim pun mendapat perintah untuk menyebut namaNya melalui lafadz basmalah ketika hendak memulai segala aktifitas. Bahwa Kasih Sayang menjadi jalan pintas menuju Rahmat-Nya sebagai hal mutlak. Menjadi jembatan untuk memperoleh pengampunan Ilahi. Dalam hadis qudsi, allah berfirman:
إن رحمتي تغلب غضبي
“Sesungguhnya rahmatKu mengalahkan murkaKu”
Maka, timbullah sebuah pertanyaan, “sudahkah kita sebagai umat Islam merealisasikan hadits di atas? teladan dari Khalifah Umar bin Khattab?”
Dengan nada pesimistis dan malu-malu kita akan menjawab, “mungkin” dan semoga banyak yang mengamalkan. Kita telah berhadapan dengan sebuah fakta bahwa mayoritas umat Islam (khususnya di Indonesia) yang justru berperilaku sebaliknya. Tanpa belas kasihan dan rasa berdosa, mereka berburu, mengurung, mengkonsumsi, atau menjadikan hewan liar sebagai konten. Juga memperjual-belikannya di pasar-pasar gelap. Ada berbagai alasan untuk hal itu sebagai pembenaran atau pembebasan dari rasa bersalah atau tidak peduli, entah karena mereka tidak mengerti, terlanjur hobi, mata pencaharian, atau alasan-alasan lainnya.
Alih-alih dari kalangan Muslim— justru yang sering membebas-liarkan burung justru datang dari saudara-saudara kita yang beragama Budha. Para keturunan Tionghoa penganut Budha Mahayana melakukan ritual Fan Sheng. Saat perayaan Waisak, mereka juga melakukan hal yang sama. Bahkan tidak hanya melepas burung, kaum Budhis ini juga melepas beberapa jenis hewan seperti kura-kura, penyu, dan ikan. Mereka percaya bahwa memberikan kebebasan kepada makhluk lain merupakan manifestasi tertinggi dari welas asih itu sendiri.
Mengamati fenomena demikian, sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita seharusnya lebih merasa malu. Karena ajaran mulia Sang Nabi justru kaum agama non Muslim yang mengamalkannya.
Pada titik ini, kritik pedas Syaikh Muhammad Abduh menemukan faktanya, “Al Islamu mahjubun bil muslimin”, kemuliaan Islam tertutup oleh umat Islam. Keindahan Islam terhalang oleh perilaku sekelompok orang Islam sendiri ― yang tidak mencerminkan keimanannya dalam perilakunya. Bukankah dalam Islam, keimanan bukan semata-mata hanya hubungan vertikal terhadap Tuhan yang disimbolkan dengan ibadah ritual? Syariat Islam mencangkup pula tuntunan ihsan terhadap semua makhluk. Karena itu, berbuat baik terhadap binatang bukanlah amal sampingan, melainkan bagian dari akhlak profetik seorang muslim.
Pada akhirnya, sesungguhnya yang esensial dalam ibadah bukan terletak pada hitungan besar-kecil atau banyak-sedikit secara matematis. Tetapi apakah tumbuh kebaikan yang berbentuk belas kasih terhadap sesama secara mengakar. Karena itulah keindahan Islam, bahwa Islam tidak hanya mewajibkan shalat dan puasa semata, tetapi juga mengajarkan kepedulian terhadap yang lemah, walau hanya pada seekor burung.
Fikirmu seperti burung dalam sangkar
Jiwamu seperti burung dalam genggaman
Lepaskan!
Hancurkan sangkar itu dengan paruhmu, walau itu menyakitkan.
Wallahu A’lam.(*)
Editor Notonegoro