
PWMU.CO – Dalam kehidupan beragama, seringkali kita menjumpai saudara-saudara kita yang praktik ibadah berbeda. Ada yang menambah, ada pula yang mengurangi. Ada yang berpegang pada dalil, ada pula yang sekadar mengikuti “kebiasan dari kecil” atau “kata ustadz ……..”. Konyolnya, umumnya justru mereka ini yang paling merasa sudah benar ibadahnya, padahal mereka relatif sangat minim ilmunya. Saat ditanyakan dasar hukum atau dalil dari praktik ibadah yang dilakukan, jawabannya selalu berujung pada kata “katanya begitu”. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan, tapi juga tentang mengapa kita melakukannya dan dari mana asalnya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya bertugas mengajak manusia untuk menyembah Allah, tapi juga mengarahkan bagaimana cara menyembah Allah secara benar. Setiap ibadah yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah harus ditimbang ulang, bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mencari kebenaran.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 111 Allah berfirman:
قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَـٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ
“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang-orang yang benar”.
Ayat tersebut mengajarkan bahwa segala bentuk keyakinan, ucapan, dan amalan dalam agama harus memiliki landasan. Dan landasannya bukan dari perkataan seseorang, bukan kebiasaan turun-temurun, dan bukan pula suara mayoritas. Landasannya hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Seringkali di lingkungan masyarakat kita, banyak yang menjadikan “katanya…..” sebagai dasar. Padahal, —walau anggapannya bagus, atau menganggapnya lebih afdal karena dari ucapan ustadz …— itulah yang di sebut bid’ah.
Bukan berarti kita menolak nasihat dari seorang ulama atau guru. Sebaliknya, kita justru harus menghormatinya dengan menerima pendapatnya secara kritis, yaitu dengan menyelaraskan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada yang tidak selaras, maka perlu disampaikan ketidakselarasannya. Sebab tidak ada manusia yang ma‘shum (terpelihara dari kesalahan) kecuali hanya Nabi Muhammad.
Janganlah membangun agama di atas landasan yang rapuh, karena kita lebih mempercayai ucapan seorang daripada petunjuk Rasulullah.
Allah telah mengingatkan kita melalui firmanNya dalam QS Al-Baqarah 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (ajaran) nenek moyang kami.’ Apakah mereka (akan tetap mengikuti) sekalipun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
Inilah bentuk dari seburuk-buruk landasan, yaitu mengikuti sesuatu hanya karena tradisi atau kebiasaan, tanpa memeriksa apakah tradisi atau kebiasaan itu sesuai dengan syariat.
Perbandingannya, mengapa jika dalam urusan dunia saja, kita begitu cermat dalam mencari referensi, membandingkan sumber, menyaring informasi, bahkan mencatat literatur. Namun ketika berkaitan dengan ibadah justru hanya mengandalkan “katanya…..”?
Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم
“Ikutilah (sunnah), dan jangan berbuat bid‘ah. Karena sesungguhnya (sunnah) itu sudah mencukupi kalian.”
Mari kita kembalikan agama ini kepada pondasi yang sesungguhnya, pondasi yang kokoh. Menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama, bukan karena kata orang atau sekadar ikut-ikutan dan bukan karena mayoritas melakukannya.
Bila memang ada perbedaan, mari kita buka mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis, bertanya pada ulama yang jujur, amanah, dan yang bersandar pada dalil yang qath’i (pasti/jelas).
Islam bukanlah agama hasil ciptaan seseorang atau manusia. Islam turun dari Allah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, sudah sepatutnya jika kita merujuknya pada sumber utamanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Tidak merujuk pada pendapat tokoh, kelompok, jumlah mayoritas. Jangan biarkan kemurnian agama kita terampas oleh pendapat-pendapat yang tidak merujuk pada dalil yang qath’i. Seburuk-buruk landasan dalam beragama, ketika tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.(*)
Editor Notonegoro