
PWMU.CO – Kepala SD Muhammadiyah 4 Surabaya (Mudipat), Edy Susanto, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kebijakan sekolah gratis untuk jenjang pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta. Namun, ia menegaskan perlunya kajian mendalam dan sistem pelaksanaan yang matang agar kebijakan tersebut dapat berjalan efektif.
Dalam keterangannya, Edy mengingatkan bahwa jumlah sekolah swasta di Surabaya jauh lebih banyak daripada sekolah negeri. Hal ini tentu berdampak besar terhadap kebutuhan pembiayaan operasional.
“Kebijakan ini tentu menyangkut soal anggaran. Siapa yang nantinya akan menanggung biaya listrik, gaji guru, dan karyawan? Apakah yang dimaksud ‘gratis’ itu mencakup seluruh pembiayaan atau hanya sebagian? Itu semua perlu diklasifikasikan secara jelas,” ujar Edy seperti dilansir dari Kompas.com, Senin (2/6/2025).
Ia menilai, alokasi pembiayaan pendidikan sebaiknya tidak diberlakukan secara merata, melainkan difokuskan kepada siswa yang benar-benar berasal dari keluarga kurang mampu. Edy mengusulkan adanya sistem pemetaan untuk menjangkau kelompok tersebut secara tepat sasaran.
“Pemerintah bisa menetapkan kebijakan khusus bagi sekolah swasta agar anak-anak dari keluarga tidak mampu mendapatkan keringanan biaya. Bisa lewat subsidi langsung, program orangtua asuh, atau subsidi silang,” tuturnya.
Menurutnya, data dari tingkat RT/RW bisa digunakan untuk memverifikasi kondisi ekonomi siswa. Setelah itu, siswa dari keluarga prasejahtera diberi kebebasan memilih sekolah—negeri atau swasta—dengan jaminan pendidikan gratis hingga lulus. Dengan cara ini, dana pemerintah dapat dialokasikan lebih efisien dan bisa digunakan pula untuk program lain seperti penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.
“Kalau orang kaya, kenapa harus dibantu? Justru mereka seharusnya menyumbang. Dalam Islam, yang kuat membantu yang lemah. Jadi yang mampu ya membantu yang tidak mampu. Itu lebih masuk akal,” jelasnya.
Edy juga menegaskan bahwa konsep pendidikan gratis sejatinya sudah dijalankan oleh Muhammadiyah sejak lama, mengacu pada nilai-nilai Islam yang menekankan kepedulian terhadap yang lemah. Menurutnya, kebijakan ini bisa membantu mengurangi kesenjangan sosial sekaligus memperluas akses terhadap pendidikan layak.
“Kesenjangan di masyarakat itu sudah menjadi hukum alam, sunnatullah. Yang penting, jangan sampai ada anak yang berhenti sekolah hanya karena masalah biaya,” ujarnya.
Ia berharap kebijakan ini bisa dijadikan momentum bagi pemerintah untuk mempercepat pemerataan akses pendidikan, meningkatkan kualitasnya, dan mengatasi berbagai ketimpangan sosial.
“Indonesia masih termasuk negara berkembang, jadi tidak mungkin semua anggaran difokuskan ke pendidikan. Perlu pembagian yang bijak. Karena itu, pemetaan terhadap siswa yang membutuhkan bantuan sangat diperlukan,” tambah Edy.
Di SD Muhammadiyah 4 Surabaya sendiri, menurut Edy, sudah ada skema subsidi silang. Siswa dari keluarga yang terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau anak yatim bisa mendapat potongan SPP dan DBP hingga 50 persen, bahkan digratiskan sampai lulus.
“Kami survei kondisi ekonomi keluarga siswa. Mereka bisa melampirkan surat PHK atau surat kematian orangtua. Ini agar bantuan benar-benar tepat sasaran dan anggaran pendidikan dari pemerintah bisa digunakan dengan lebih optimal,” terangnya.
Selain itu, Edy mengungkapkan bahwa sering kali ada wali murid yang secara sukarela membantu membayar SPP siswa lain yang mengalami kesulitan ekonomi, tanpa ingin diketahui identitasnya.
“Bahkan ada orangtua siswa yang diam-diam membantu biaya pendidikan anak yatim tanpa pamrih. Ini hal luar biasa dan patut diapresiasi,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengabulkan uji materi atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta. (*)
Penulis Wildan Nanda Rahmatullah Editor Azrohal Hasan