
Oleh Nurbani Yusuf (Komunitas Padhang Makhsyar)
PWMU.CO- Muhammadiyah bukan NU. Di mana aset, berupa pesantren, ma’had, rumah sakit, klinik, universitas atau sekolah dapat dimiliki secara pribadi oleh keluarga para kyai dan tokoh pendiri yang bisa diwariskan ke anak cucu dzuriah para founding di mana jabatan dapat dijabat seumur hidup.
Di Muhammadiyah berbeda. Semua aset dan amal usaha bukan milik keluarga atau person yang bisa diwariskan. Jabatan ada periodesasi. Ada pertanggungjawaban publik. Bahkan ada saatnya diambil dan diatur sesuai regulasi Persyarikatan. Bahkan jabatan Kiai atau Ulama juga bergantung SK.
Keduanya: baik Muhammadiyah dan NU, ada kebaikan dan ada kekurangan, insya Allah membawa keberkahan dan kemaslahatan meski dengan presisi berbeda.
Di Muhammadiyah: Semua boleh bekerja keras sekeras-kerasnya. Berkurban seikhlas-ikhlasnya. Popular dan terkenal tapi ingat: pada saat habis periode akan dilupakan atau ditinggalkan.
Siapapun boleh serahkan harta, pikiran, tenaga dan waktu. Pada saatnya akan diambil dengan paksa atau diserahkan dengan ikhlas bergantung keadaan.
Ada generasi perintis, ada generasi pejuang, ada generasi penikmat. Sunatullah di persyarikatan.
Butuh ikhlas doubel, saya bilang.
Di NU rasa memilkinya sangat tinggi karena milik pribadi. Tidak ada batasan periode dan tidak terikat aturan organisasi. Dengan begitu, mereka begitu dominan, militan dan rela melakukan apapun dengan berbagai cara untuk defens maupun ekspansi dan inovasi. Hasilnya luar biasa.
NU berfungsi sebagai jam’iyah. Semacam kredo ideologi yang disepakati. Pengelolaan aset diserahkan masing-masing, yang penting tetap ada dalam jam’ iyah dan tidak menyimpang.
Sistem Holding yang di Muhammadiyah — menagih para pengurusnya benar-benar ikhlas. Merintis, membesarkan, merawat dan mengembangkan sesuatu yang ‘bukan miliknya’. Dengan harta sendiri kemudian ikhlas diwakafkan. Sungguh mulia dan terpuji.
Pada saatnya akan diambil dan diserahkan kepada pengurus dan pimpinan baru. Ada saatnya yang awalnya berada pada shaf paling depan bahkan imam ditarik mundur ke belakang di shaf dua atau di emperan masjid. Tidak dihiraukan, tidak di ingat, tidak disebut bahkan dilupakan.
Perlahan rasa memiliki menipis karena banyak aturan. Birokrasi ketat, majelis yang egosentris tidak saling bersentuhan. Hanya untuk memutuskan beli satu sak semen butuh quorum. Kemudian pertumbuhan menjadi melambat.
Ada yang sangat bergairah mengelola aset amal usaha seperti milik keluarga. Ada yang cuek bebek tak hirau sama sekali karena tidak merasa ikut memiliki. Keduanya harus diminimalkan sebab menjadi energi negatif.
Para founding Muhammadiyah banyak yang telah lulus uji. Pak Malik Fadjar, Pak Imam Suprayogo, Pak Sukiyanto, Pak Muhadjir dan Pak Abdullah Hasyim adalah uswah baik. Mengelola UMM dari minus ratusan juta pada tahun 1983. Kemudian surplus Milyaran dengan aset Triliunan adalah usaha keras tiada terkira. Kelimanya berakhir dengan kemuliaan berkat keikhlasan dan ketulusan tiada tara..
Tapi jujur saya katakan. Tidak ada sesuatu yang sempurna. Kekuatan struktural yang dominan juga harus di imbangi dengan kekuatan personal berbasis masa kultural.
Dengan begitu terjadi keseimbangan: struktural kuat, basis masa kulturalnya juga kokoh. Tidak ada yang saling mendominasi, tapi saling menguatkan.
Saatnya para kiai dan ulama di Muhammadiyah punya pesantren sendiri. Para saudagar Muhammadiyah punya perusahaan sendiri. Para ilmuwan dan cendekiawan Muhammadiyah punya pusat studi atau nizhamiyah sebagai sekoci yang lincah dan simpel bergerak, menopang kapal besar Muhammadiyah yang melambat karena sarat penumpang. (*)
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan