
PWMU.CO – Duka mendalam menyelimuti keluarga besar Muhammadiyah Jawa Timur. Sutrisno Hadi, sosok sederhana namun penuh makna, wafat pada Selasa (10/6/2025). Almarhum mengabdikan diri sebagai marbot Masjid Al Badar, Kertomenanggal, Surabaya, selama lebih dari empat dekade. Ia meninggalkan seorang istri, Mbak Wati, dan dua orang putri.Kabar kepergian Sutrisno segera menyebar luas melalui berbagai grup WhatsApp aktivis, alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), serta komunitas masjid. Ucapan belasungkawa pun mengalir deras dari berbagai tokoh dan kalangan.
“Kami sangat kehilangan. Almarhum adalah sosok ikhlas yang menghidupkan ruh perjuangan di Masjid Al Badar,” tutur Abah Sholihin, Wakil Ketua PWM Jawa Timur.
Sejak awal 1980-an, Sutrisno dan istrinya membuka warung kopi sederhana yang dikenal sebagai Warkop Mbak Wati. Warung itu menjadi titik temu para aktivis muda Muhammadiyah. Di sana lahir gagasan, diskusi, dan konsolidasi gerakan yang membentuk kader-kader besar Muhammadiyah masa kini. Bukan sekadar tempat ngopi, tetapi ruang kaderisasi informal yang sangat kuat.
Sejumlah tokoh seperti Suli Daim (anggota DPRD Jatim), yang merupakan Ketua DPD IMM Jatim periode 1995–1997 dan PW Pemuda Muhammadiyah Jatim di era 2000-an, menjadi saksi kesetiaan Sutrisno dalam melayani para aktivis.
“Warkop itu tempat kami biasa rapat. Kadang belum bayar kopi sampai akhir bulan, tapi tidak pernah ditagih,” kenang Suli Daim.
Tokoh lain, seperti Najih Prasetyo (Sekjen PP Pemuda Muhammadiyah sekaligus mantan Ketua DPD IMM Jatim), Prof. Dr. Ma’mun Murod (Rektor UMJ), dan Ali Muthohirin (Wakil Wali Kota Malang), serta sejumlah mantan ketua Angkatan Muda Muhammadiyah Jawa Timur, sepakat bahwa Warkop Mbak Wati menjadi bagian penting dari tumbuhnya kesadaran dan perjuangan mereka.
Ali Muthohirin bahkan menyebut Sutrisno sebagai “bapak ideologis” yang tidak pernah berceramah, tetapi menginspirasi lewat laku hidup.
“Kami belajar nilai-nilai dakwah, kesederhanaan, dan kejujuran dari beliau,” ujarnya.
Sementara Prof. Ma’mun menambahkan, “Beliau mungkin tidak dikenal di forum-forum nasional, tapi sangat dikenal di hati kader yang pernah ngopi di warkop itu.”
Kabar wafatnya Sutrisno tak hanya memantik duka, tetapi juga rasa hormat. Banyak aktivis menyampaikan niat untuk bertakziyah.
“Dimakamkan di mana? Insyaallah saya ingin ikut takziyah,” tulis Suyono dari Majelis Tabligh Muhammadiyah dalam salah satu grup.
Jenazah almarhum disalatkan di Masjid Al Badar dan dimakamkan di kampung halamannya di Jombang.
Mbak Wati, istri almarhum, juga bukan sosok biasa. Berkat ketekunannya mengelola warung demi menopang keluarga dan mendukung ruang kaderisasi, ia menerima Anugerah Award dari PW FOKAL IMM Jawa Timur tahun 2025. Ia dinobatkan sebagai Wanita Pejuang Ekonomi, kategori Wanita Inspiratif.
“Dedikasi beliau luar biasa. Ia menghidupkan ekonomi keluarga sekaligus menghidupkan ruang kaderisasi,” ujar salah satu panitia penghargaan.
Ali Mukti, Ketua Takmir Masjid Al Badar, menutup kesaksiannya dengan suara terbata-bata.
“Kami kehilangan bukan hanya petugas kebersihan, tapi penjaga spiritual masjid. Beliau selalu ada saat kami butuh. Kini beliau tiada, tapi jejaknya akan terus hidup,” ujarnya.
Bagi banyak kader, Sutrisno bukan sekadar marbot. Ia adalah guru kehidupan, penjaga semangat, dan bapak yang diam-diam membesarkan para pejuang.Hingga berita ini ditulis, ucapan duka dan doa-doa dari para aktivis Muhammadiyah dari berbagai daerah terus mengalir melalui grup-grup WhatsApp. Semuanya mengenang sosok yang tak banyak bicara, tapi memberi pengaruh begitu besar. (*)

Penulis M Tanwirul Huda Editor Wildan Nanda Rahmatullah