
Oleh: Uswatun Hasanah, Guru Bahasa Indonesia Sekolah Pesantren MTs Muhammadiyah 1 Malang.
PWMU.CO – Di tengah tantangan zaman yang serba cepat dan digital, Generasi Z (Gen Z) dihadapkan pada berbagai pilihan nilai dan gaya hidup. Di era ini, keteladanan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menjaga arah dan jati diri.
Salah satu sosok yang patut dijadikan panutan adalah Nabi Ismail AS figur muda dalam sejarah Islam yang menunjukkan karakter unggul sejak usia dini.
Ketaatan, kesabaran, dan tanggung jawabnya bukan hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga sangat dibutuhkan oleh generasi masa kini. Merenungi dan meneladani sifat-sifat Nabi Ismail dapat menjadi sumber inspirasi sekaligus solusi dalam membentuk karakter Gen Z yang tangguh, berintegritas, dan bermakna.
Angelina Ika Rahutami mengatakan karakter pada Gen Z, yaitu kemahiran dan ketertarikan terhadap teknologi, hal itu memudahkan generasi Z untuk memperoleh banyak informasi, tidak menyukai proses, hanya berorientasi pada hasil, cepat mengeluh bila menerima tugas berat, dan cenderung akan mengambil jalan pintas ketika menemui kebuntuan, menunjukkan sikap minimalis dan berorientasi target membuat berwawasan lebar dan tidak dalam.
Misalnya, banyak dari mereka yang cepat bosan saat diberi tugas yang bersifat rutin dan menuntut konsistensi seorang karyawan muda baru di sebuah perusahaan start up misalnya, memilih resign hanya dalam tiga bulan karena merasa pekerjaannya “tidak menantang”.
Selain itu, ketahanan terhadap tekanan juga menjadi masalah; tidak sedikit mahasiswa Gen Z yang mengaku burnout hanya karena dituntut mengikuti jadwal kuliah dan organisasi secara bersamaan, padahal itu hal yang biasa bagi generasi sebelumnya.
Dalam lingkungan kerja, atasan kerap menghadapi tantangan dengan staf muda yang sulit diajak komunikasi tatap muka, lebih memilih berkomunikasi lewat pesan singkat bahkan untuk hal penting. Loyalitas pun menjadi persoalan; banyak HRD mengeluhkan kecenderungan Gen Z untuk “loncat kerja” dalam hitungan bulan demi gaji atau suasana yang lebih nyaman, tanpa menyelesaikan tanggung jawab jangka panjang.
Tak jarang pula, pencitraan di media sosial menjadi prioritas, seperti ketika seseorang lebih sibuk mengambil video “daily work routine” untuk TikTok daripada fokus menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
Hal ini menunjukkan bahwa karakter negatif Gen Z bukan hanya asumsi, tetapi fenomena nyata yang harus dihadapi dengan pendekatan bijak baik oleh mereka sendiri maupun lingkungan yang mendampingi mereka.
Di lingkungan sekolah, karakter negatif Gen Z mulai terlihat dari sikap mereka yang mudah bosan dan kurang sabar menghadapi proses belajar yang panjang. Banyak guru mengeluhkan siswa yang cepat kehilangan fokus saat pembelajaran berlangsung tanpa teknologi visual atau hiburan.
Misalnya, ketika diminta membuat makalah, sebagian siswa lebih memilih mencari ringkasan instan dari internet tanpa benar-benar membaca sumber aslinya.
Dalam lingkungan keluarga, beberapa orang tua mengaku kesulitan berdialog dengan anak-anak mereka yang lebih nyaman mengekspresikan diri lewat media sosial daripada berbicara langsung. Tidak jarang, percakapan penting dalam keluarga hanya dijawab dengan anggukan sambil mata tetap tertuju pada layar ponsel.
Dalam organisasi pemuda, tantangan muncul saat Gen Z diminta untuk konsisten dan bertanggung jawab terhadap program jangka panjang. Banyak yang antusias di awal, namun menghilang di tengah jalan karena merasa bosan atau terganggu oleh aktivitas pribadi lainnya.
Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan karakter negatif Gen Z tidak bisa diabaikan, namun harus direspons dengan pendekatan pendidikan karakter yang lebih relevan dan komunikatif. Untuk membantu Gen Z menghadapi tantangan di sekolah dan dunia kerja, kita perlu cara yang lebih cocok dengan gaya mereka.
Di sekolah, metode belajar harus lebih menarik dan menggunakan teknologi supaya mereka lebih semangat dan mudah paham. Selain itu, kemampuan seperti komunikasi, kerja sama, dan mengatur perasaan juga harus diajarkan sejak dini supaya mereka lebih siap menghadapi masalah.
Di dunia kerja, Gen Z perlu diberikan kesempatan magang atau dibimbing langsung agar tahu seperti apa dunia kerja sebenarnya. Penting juga menyediakan tempat atau orang yang bisa membantu mereka saat merasa stres. Selain itu, mengajarkan nilai-nilai seperti tanggung jawab dan jujur akan membuat mereka jadi pribadi yang kuat.
Perusahaan juga harus memberi kebebasan yang cukup tapi tetap tegas supaya Gen Z merasa nyaman dan tahu batasan. Dengan cara-cara ini, Gen Z bisa tumbuh jadi generasi yang siap, dewasa, dan bisa memberi manfaat bagi sekitar.
Menyikapi sikap dan karakter negatif tersebut diperlukan langkah transformasi dan internalisasi karakter unggul yang dimiliki Nabi Ismail AS saat usia muda yang dapat memperkokoh karakter unggul Gen Z.
Dengan karakter unggul Nabi Ismail, dapat menjadikan Gen Z mampu mengatasi berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul dalam era disrupsi dengan kondisi perubahan yang eksponensial, sangat cepat, kontradiktif dan membawa desktruktif.
Karakter Nabi Ismail AS, seperti ketaatan kepada orang tua, kesabaran menghadapi ujian, dan tanggung jawab sejak usia muda, merupakan nilai-nilai luhur yang sangat relevan bagi Gen Z.
Di tengah tantangan zaman yang penuh distraksi dan tekanan sosial, keteladanan Nabi Ismail dapat menjadi kompas moral yang membimbing generasi ini untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berakhlak, dan visioner.(*)
Editor Zahrah Khairani Karim