
PWMU.CO – Raja Ampat adalah salah satu kepulauan di Papua Barat, Indonesia yang populer dengan sebutan surga terakhir di bumi. Keindahan alam bawah lautnya sungguh luar biasa, dan kekayaan hayati yang tak tertandingi menjadikannya pusat perhatian dunia. Para ilmuwan, wisatawan, maupun pegiat lingkungan sangat menaruh perhatian dan kekaguman tersendiri terhadap kepulauan Raja Ampat ini..
Namun, kini Raja Ampat sedang menghadapi ancaman serius. Eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel demi memenuhi permintaan global untuk energi terbarukan sedang menjalankan aksinya. Ironis, program global yang konon katanya untuk ‘menyelamatkan dunia’ ini dengan proyek kendaraan listrik, justru alam dengan super keindahannya itu menjadi tumbal.
Timbullah pertanyaan, “sebagai umat manusia, khususnya sebagai umat Islam, bagaimana kita menyikapi pertarungan antara kelestarian alam dan kebutuhan ekonomi ini? Apa yang dapat Islam berikan sebagai panduan dalam menentukan langkah yang adil dan bijak?
Raja Ampat dan ancaman tambang nikel
Indonesia menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Logam ini menjadi bahan utama dalam produksi baterai lithium-ion untuk mobil listrik, ponsel, dan perangkat elektronik modern lainnya. Di sisi lain, industri dunia kini sedang bergeser dari energi fosil ke energi bersih. Nikel pun menjadi bahan baku utama dalam transisi ini.
Namun, Raja Ampat adalah kawasan dengan status ekologis tinggi. Lebih dari 1500 spesies ikan, 500an jenis karang, berbagai satwa endemik yang ada menjadikan wilayah ini unik yang tak tergantikan. Apakah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi harus selalu mengorbankan alam yang indah menjadi rusak?
Ketika kawasan ini menjadi target ekspansi tambang, risiko kerusakan lingkungan tidak hanya berskala lokal, tetapi juga berdampak global. Limbah hasil pertambangan pasti akan menimbulkan kerusakan terumbu karang, deforestasi. Selain itu juga akan terjadi perubahan pola hidup masyarakat adat sebagai akibat yang sulit terhindarkan.
Tambang nikel membawa risiko kerusakan ekologis yang tidak sebanding dengan manfaat ekonominya jika dilakukan di kawasan konservasi seperti Raja Ampat. Perlindungan terhadap kawasan ini penting bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk komunitas ilmiah dan konservasi global.
Islam dalam memperlakukan alam
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam memberikan panduan dalam hal hubungan manusia dan alam. Dalam perspektif Islam, bumi dan seluruh isinya merupakan amanah dari Allah yang harus dijaga.
Allah berfirman dalam QS Al-A’raf ayat 56:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat ini menunjukkan bahwa merusak alam merupakan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip Islam. Eksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungannya bukanlah bentuk syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, dengan mencermati permasalahan pertambangan di Raja Ampat, ini merupakan bentuk dari fasad (kerusakan) di muka bumi.
Islam mengajarkan prinsip mizan (keseimbangan). Dalam Surah Ar-Rahman, Allah menyebut bahwa seluruh ciptaan-Nya dibangun dalam keseimbangan, dan (karena itu) manusia tidak boleh melampaui batas (tughyan). Maka, dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, siapapun harus menjaga keseimbangan dengan upaya mempertahankan harmoninya dengan alam.
Selain aspek ekologi, Islam juga memperhatikan keadilan sosial. Tidak dipungkiri bahwa kasus pertambangan seringkali masyarakat lokal tidak memperoleh kemanfaatan yang maksimal. Sebaliknya, masyarakatlah yang paling dominan mengalami kerugian, mulai dari kehilangan pemilikan lahan/tanah, hak hidup yang layak hingga hak akses terhadap sumber daya alam yang menjadi bagian dari identitas budaya dan ekonomi mereka.
Pentingnya keadilan
Islam menekankan pentingnya keadilan (al-‘adl) di semua aspek kehidupan. Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 90, Allah memerintahkan agar umat manusia berlaku adil dan melarang perbuatan aniaya. Maka, sesungguhnya kebijakan pertambangan yang menguntungkan segelintir orang tapi sangat merugikan masyarakat kecil itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam sangat mengakui hak masyarakat atas tanah dan sumber daya, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Muhammad SAW, “ “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang penting bagi kehidupan bersama
Islam tidak anti pembangunan, selama tindakan itu berpihak pada keadilan, dijalankan dengan kebijaksanaan yang baik, dan kebermanfaatannya berkelanjutan. Selain itu, Islam juga sangat menekankan pembangunan aspek immaterial — yang meliputi pembangunan akhlak, tanggung jawab, dan maslahat umum — selain pembangunan material.
Karena itu, jika digunakan untuk memahami masalah proyek pertambangan di Raja Ampat, sesungguhnya lebih memprioritaskannya sebagai wahana ekowisata, riset konservasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal sudah selaras dengan semangat Islam. Ekowisata tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memberi penghasilan berkelanjutan bagi warga tanpa menghancurkan lingkungan.
Raja Ampat adalah salah satu anugerah Allah yang harus disyukuri dan dijaga. Dalam Islam, menjaga lingkungan bukan sekadar tindakan ekologis, tetapi bentuk ibadah. Setiap langkah untuk mencegah kerusakan, setiap suara yang membela keadilan ekologis dan sosial, adalah bagian dari tanggung jawab spiritual kita sebagai umat beriman.
Kebutuhan nikel untuk masa depan energi bersih memang penting. Namun, jika diperoleh dengan cara yang merusak alam, maka niat baik itu menjadi tidak bernilai baik. Islam mengajarkan bahwa cara dan tujuan harus sama-sama baik. Maka, menyelamatkan Raja Ampat bukan hanya soal lingkungan atau ekonomi—ia adalah panggilan iman. Sebuah tugas mulia untuk menjaga titipan Allah, demi generasi hari ini dan yang akan datang.(*)Editor Notonegoro