
Oleh: Syaifuddin Eko Fathur Rahman, Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih UMM.
(syaifuddin121102@gmail.com)
PWMU.CO – Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima: ibadah haji.
Sebuah ibadah agung yang tidak hanya menguras harta dan tenaga, tetapi juga menuntut ketulusan jiwa dan keikhlasan hati. Namun, di tengah maraknya media sosial dan budaya tampil, muncul pertanyaan yang menggugah nurani: benarkah semua orang berhaji karena Allah, ataukah ada yang menjadikan haji sebagai sarana pencitraan?
Fenomena ini tidak bisa kita nafikan. Di berbagai lapisan masyarakat, gelar “Haji” sering kali dianggap sebagai simbol status sosial. Dalam dunia politik, bisnis, bahkan birokrasi, predikat tersebut mampu menaikkan pamor, memperkuat legitimasi moral, bahkan memuluskan jalan menuju kekuasaan.
Tak sedikit yang menjadikan haji sebagai bagian dari strategi personal branding—bukan sebagai bentuk kepatuhan spiritual, melainkan investasi citra.
Tentu saja, ini menjadi ironi. Bagaimana tidak? Ibadah yang seharusnya menjadi bentuk perendahan diri di hadapan Allah, justru digunakan untuk meninggikan diri di hadapan manusia. Padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa nilai amal ditentukan bukan oleh besar kecilnya perbuatan, tetapi oleh keikhlasan niatnya. Maka, siapa pun yang berhaji semata-mata demi pujian atau popularitas, telah menggugurkan esensi ibadah tersebut.
Nabi ﷺ juga memperingatkan dengan sangat keras:
“من عمل عملاً ليراء الناس، فالله يعرض عليه عيبه، ومن عمل عملاً ليأخذ به الثناء، فالله يبصر به عيبه.”
(رواه مسلم)
“Barang siapa melakukan suatu amal untuk dilihat orang lain, maka Allah akan memperlihatkan cela amal itu. Dan barang siapa melakukan amal untuk mendapat pujian manusia, maka Allah akan membuka aibnya”. (HR. Muslim)
Riya, atau beribadah karena ingin dilihat dan dipuji manusia, adalah bentuk syirik kecil (syirkul ashghar) yang sangat berbahaya. Ia tidak membatalkan keislaman seseorang, tetapi bisa menghapus pahala amal yang dilakukan.
Di era media sosial, bentuk riya pun bermetamorfosis. Tak lagi sekadar berdiri di mimbar atau tampil di kerumunan, kini cukup dengan unggahan digital: foto thawaf di depan Ka’bah, video saat wukuf, atau caption penuh lafadz-lafadz religius.
Tak jarang, semua itu dibuat bukan untuk menyemangati atau berdakwah, melainkan sebagai ajang pertunjukan spiritualitas. Inilah yang para ulama sebut sebagai riya khafiy—riya yang samar, yang menyusup ke dalam hati dan sulit dideteksi, kecuali oleh orang yang rajin bermuhasabah.
Secara hukum fiqih, haji semacam ini tetap sah—selama rukun dan syaratnya terpenuhi. Namun, apakah haji tersebut mabrur? Di sinilah yang membedakan antara sekadar formalitas ibadah dan hakikat spiritual yang sejati. Sebab Rasulullah ﷺ bersabda:
لحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur itu tidak ada balasan lain baginya selain surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara haji yang tidak mabrur, hanya akan menjadi perjalanan fisik yang melelahkan, tanpa bekas dalam jiwa, tanpa nilai di sisi Allah.
Allah SWT juga berfirman dalam al-Quran:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦأَحَدًۭا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)
Ayat ini menegaskan bahwa keikhlasan adalah syarat mutlak diterimanya ibadah. Sekecil apa pun unsur mempersekutukan Allah dalam niat—termasuk dengan menyisipkan ambisi duniawi seperti pencitraan—akan menggugurkan nilai amal tersebut.
Penutup
Ibadah haji adalah panggilan langit. Ia bukan panggung dunia, bukan pula investasi sosial. Ketika seseorang memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci, sejatinya ia sedang diundang untuk meninggalkan seluruh egonya.
Di sana, semua status sosial ditanggalkan, semua gelar diluruhkan. Yang tersisa hanyalah seorang hamba dalam balutan kain putih yang sederhana, menghadap Rabb-nya dengan hati yang terbuka.
Namun, bila niat berhaji sudah tercemari sejak awal—bukan karena taat, tapi karena ingin dipandang—maka pantaskah kita berharap balasan dari Tuhan yang Maha Mengetahui isi hati?
Maka sebelum langkah kaki sampai ke Makkah, mari kita koreksi arah hati kita. Mari bertanya jujur: Apakah aku berhaji karena Allah, atau karena manusia? Apakah aku ingin menjadi tamu-Nya, atau hanya ingin diakui manusia telah ke rumah-Nya?
Keikhlasan tidak membutuhkan sorotan kamera. Ia hanya butuh ruang hening dalam jiwa yang tak terjamah tepuk tangan atau komentar warganet.
Semoga setiap langkah menuju Baitullah adalah langkah yang jujur, dan setiap “Labbaik” yang diucapkan adalah jawaban tulus atas panggilan cinta dari Allah.
Semoga kita semua diberi kesempatan untuk berhaji dengan niat yang bersih, diterima amalnya, dan pulang sebagai haji yang mabrur. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.(*)
Editor Zahrah Khairani Karim