
PWMU.CO – Perkaderan dalam Muhammadiyah bukan sekadar kegiatan pelatihan atau pendidikan formal, melainkan merupakan proses panjang dalam pembentukan ideologi, spiritualitas, dan intelektualitas. Melalui proses ini, terbentuk karakter kader Muhammadiyah yang unggul dalam ilmu pengetahuan, memiliki militansi tinggi dalam berdakwah, berlandaskan niat yang lurus, serta tangguh dalam menghadapi dinamika zaman. Pelaksanaan sistem kaderisasi melalui berbagai bentuk, seperti Darul Arqam, Baitul Arqam, maupun proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Persyarikatan berkomitmen untuk secara sungguh-sungguh membentuk insan-insan berkemajuan yang mampu memadukan nilai-nilai Keislaman dan Kemuhammadiyahan dengan tantangan serta realitas kehidupan modern.
Kemampuan Muhammadiyah selama ini terletak pada independensinya dari godaan politik praktis. Muhammadiyah dengan berjarak yang sama pada semua partai politik, kepercayaan publik terhadap Muhammadiyah pun relatif masih sangat baik. Tidak jarang, justru Muhammadiyah hadir sebagai penengah atau penyelesai konflik sosial yang terjadi. Muhammadiyah menjadi lebih disegani oleh semua kalangan.
Godaan berbahaya politik praktis
Politik praktis, dalam pengertian sempitnya, adalah kegiatan langsung dalam kontestasi kekuasaan melalui partai politik. Dunia politik praktis selama ini yang terjadi penuh dengan intrik, kompromis, dan terkadang tanpa ada ‘halal-haram’ dalam meraih kemenangan. Maka, saat kader Muhammadiyah masuk ke wilayah ini dengan tanpa kesiapan mental ideologis dan kontrol organisasi, sangat mungkin akan terjadi politisasi kader, bukan kaderisasi politik.
Pernyataan ini bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi kader Muhammadiyah yang ingin terjun ke dunia politik. Apalagi, Muhammadiyah bukanlah organisasi yang anti-politik. Namun, perlu ada kewaspadaan ketika dalam proses kaderisasi terdapat upaya penyusupan kepentingan politik praktis. Misalnya, menjelang pemilu, pelatihan kader tersusupi agenda kampanye terselubung; pemilihan pimpinan organisasi otonom (ortom) diwarnai intervensi tokoh politik; atau bahkan yang lebih buruk, proses kaderisasi hanya dijadikan alat untuk mencetak pendukung kelompok politik tertentu, sehingga mengabaikan esensi pembinaan ideologis yang menjadi tujuan utama.
Tentunya hal tersebut tidak sekedar melukai nilai-nilai perkaderan, tetapi juga merusak kepercayaan bagi kader. Kader-kader idealis tentu merasa kecewa. Sedang yang kehilangan idealismenya justru mengambil manfaat demi kepentingan politik pribadi. Mungkin dalam tahap awal tidak terasa penggerusan idealisme dalam berMuhammadiyah ini, mungkin akan bisa terasa dampaknya satu-dua periode mendatang.
Pentingnya independensi organisasi
Sikap independen merupakan salah satu kekuatan utama Muhammadiyah. Sejak awal Muhammadiyah selalu bersikap tegas dalam hal menjaga jarak dengan semua organisasi politik praktis. Semua itu berangkat dari kesadaran dan kedewasaan Muhammadiyah dalam mengawal misi dakwah dan tajdid tanpa gangguan kepentingan politik praktis.
Independensi bukan dalam rangka menanamkan sikap anti politik (apolitik), tetapi merupakan pilihan sikap politik yang lebih mengutamakan kebaikan bersama bagi umat dan bangsa. Dengan bersikap independen ini, Muhammadiyah tidak memiliki kepentingan untuk memenangkan kelompok politik tertentu. Kecerdasan dan kedewasaan warga Muhammadiyah telah menjadikannya berpikiran matang agar tidak menjadi korban permainan politik kelompok tertentu. Dengan bersikap independen, Muhammadiyah dapat menjadi pembina dan menyumbangkan benih pemikirannya kepada seluruh kekuatan politik untuk kebaikan bersama.
Muhammadiyah menjadikan perkaderan sebagai investasi jangka panjang dalam upaya mewujudkan masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Perkaderan yang konsisten, ideologis, dan berorientasi pada penguatan nilai akan menghasilkan kader-kader unggul. Kelak pada masanya para kader itu akan memberikan kontribusi besar di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang politik.
Melalui perkaderan dengan independensi yang kuat, diharapkan kelak ketika menjadi seorang politikus Muhammadiyah atau kader politik Muhammadiyah, tetap terjaga idealismenya dalam mengemban misi pengabdian. Kader politik yang beridealisme Muhammadiyah, diharapkan tetap menjaga marwah Muhammadiyah di panggung politik. Bukan justru menjadi ‘racun’ di tubuh Muhammadiyah.
Wakil Menteri Ristekdikti Profesor Fauzan dalam Pelatihan Instruktur Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menegaskan bahwa daripada sibuk berjibaku dalam politik praktis, lebih utama menjalankan tugas terbesar dalam penyiapan sumber daya insani. Percuma kita berpeluh-peluh dalam kompetisi, tapi saat menerima tanggung jawab justru tidak ada kader yang mumpuni.
Menjaga marwah persyarikatan
Banyak pihak menaruh harapan besar kepada Muhammadiyah. Harapan ini tidak terlepas dari sikap independen organisasi serta tradisi keilmuannya yang kuat. Oleh karena itu, para kader Muhammadiyah perlu senantiasa melakukan refleksi diri secara mendalam. Apakah jalur perkaderan kita benar-benar steril dari intervensi politik? Para pimpinan di berbagai tingkatan mampu menjaga netralitas lembaga dalam menghadapi tahun-tahun politik? Apakah organisasi otonom (ortom) mampu mencetak kader ideologis, bukan sekadar aktivis yang haus jabatan sekedar mencari status sosial?
Refleksi ini bukan bermaksud untuk menakut-nakuti atau mengekang potensi kader dalam berpolitik, melainkan untuk memastikan bahwa Muhammadiyah tetap menjadi rumah besar yang nyaman bagi semua, bukan ladang kontestasi politik.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita patut bersyukur karena banyak kader Muhammadiyah mendapatkan kepercayaan memegang amanah penting. Sebut saja Prof. Abdul Mu’ti, Prof. Fauzan, dan kader lainnya seperti Dzulfikar Ahmad Tawalla dari Pemuda Muhammadiyah. Namun demikian, kita tidak boleh lengah dan melupakan pentingnya kerja-kerja dasar dalam proses perkaderan.
Sekali lagi, Muhammadiyah telah memilih sikap politik secara cerdas dan etis. Kader Muhammadiyah boleh berpolitik — dan bahkan harus berani masuk ke dalam dunia politik — tetapi tidak mengorbankan proses kaderisasi Muhammadiyah. (*)
Editor Notonegoro