
PWMU.CO – Bayangkan, kita memiliki sebuah rumah di tepi pantai, yang lengkap dengan akuarium raksasa berisi 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.600 jenis ikan, air sejernih kristal, dan matahari yang cahaya memantul secara sempurna. Tiba-tiba muncul orang asing dan berkata, “aku ingin mengambil sedikit tanah di sekitar sini!” Lalu rumahmu menjadi porak-poranda, lautmu keruh, dan ikan-ikan di akuarium itu mati bergelimpangan.
Itulah kira-kira gambaran yang terjadi di Raja Ampat saat ini.
Raja Ampat bukan sekedar tempat tujuan wisata tropis. Ia bahkan menjadi ‘surga’ yang secara biologis dan ekologis lebih berharga dibanding pameran batu akik sedunia. Tapi sepertinya bukan hal yang mengejutkan lagi, jika di negeri ini gampang sekali menjual surga. Surga itu dijual dengan seharga “nikel”.
Katanya, ini demi energi hijau, demi transisi kendaraan listrik, dan demi masa depan bebas karbon. Lucu….! Kita dipaksa untuk percaya bahwa penghancuran hutan, membongkar perut bumi, mencemari laut, dan sekaligus memiskinkan masyarakat adat sebagai bagian dari penyelamatan planet bumi ini. Ini transisi hijau macam apa? Ketika dedaunan harus dibakar dulu sebelum dipajang?
Ini adalah fakta! Beberapa tahun terakhir ini aktivitas tambang di Raja Ampat — terutama di Pulau Gag dan Kawe — mengalami peningkatan yang tajam. Berdasar laporan Greenpeace 2025, lebih dari 22.420 hektar lahan telah dalam kekuasaan konsesi tambang nikel.
Praktik penambangan lahan atau hutan bukanlah sekedar membuat ‘luka kecil’ di atas bumi, tapi merupakan kegiatan amputasi ekologis. Lumpur tambang yang mengalir ke arah laut, akan membuat sedimentasi yang pasti akan menutup terumbu karang bagai lembaran kain kafan.
Bagi surga kepulauan Raja Ampat, Ini bukan cuma ancaman terhadap ikan-ikan hias, tapi juga sekaligus ancaman bagi kehidupan secara keseluruhan. Warga lokal yang menggantungkan hidupnya kepada laut dan pariwisata pasti kehilangan sumber penghasilan. Terumbu karang yang mati, ikan menjadi minggat, dan para wisatawan pun mulai mempertanyakan, “inikah yang namanya surga dunia itu? Atau sebuah proyek reklamasi yang sudah gagal konsep?”
Sungguh sangat menyedihkan, pemerintah pusat kini sepertinya sedang mengalami penyakit amnesia konstitusional. Bukankah Mahkamah Konstitusi RI dalam putusan Nomor. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan perlindungan hak masyarakat adat atas wilayah mereka, termasuk hak untuk menolak eksploitasi? Tapi siapakah yang merasa peduli? Selama para investor tersenyum pongah dan saham tambang meningkat tajam, maka teriakan “Save Raja Ampat” hanya terdengar sebagai gonggongan anjing belaka, hanya sekadar noise sosial media belaka.
Satu lagi ironi yang tidak bisa kita pura-pura tidak tahu sambil menutup mata. Praktik pungutan liar terhadap wisatawan yang katanya demi PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang nilainya mencapai Rp 18,25 miliar per tahun (Data KPK, 2024). Saat para wisatawan — baik domestik atau mancanegara — datang untuk melihat dan mengagumi keindahan alam Nusantara, justru ada tangan-tangan yang rakus menyambut kedatangan wisatawan dengan kotak amal ilegal.
Masyarakat adat sebenarnya sudah bersuara, para aktivis pun tak kalah lantang berteriak, bahkan nelayan juga melakukan aksi mogok melaut karena memang sudah tidak ada lagi ikan di jalur tradisional yang bisa mereka tangkap.
Ironis, suara-suara perih itu hanya menjadi angin lalu, dibiarkan berdendang tanpa perlu didengar. Ketika nyanyian perih itu semakin nyaring, mereka pun kemudian mengalami kriminalisasi dengan tudingan melawan kebijakan negara..
Tragi!, Di negeri ini, mereka yang berperan sebagai perusak alam justru mendapatkan izin dan restu. Sedang yang tampil sebagai pembela dan penyelamat alam justru kian keras mendapatkan ancaman.
Bila demikian adanya, apa gunanya kita bangga punya Raja Ampat? Jika pada akhirnya anak cucu hanya mendapatkan warisan dokumenter tentang “surga dunia yang pernah ada” di negeri tercinta.
Kini sudah saatnya harus menyadari — utamanya para elit negeri pemegang kebijakan atas nama rakyat — bahwa tidak semua yang berkilau itu emas. Nikel memang mengkilap, tapi akan menjadi penyulut kehancuran ketika telah terangkat dari perut bumi.
Saat ini negara harus hadir dan mengambil langkah tegas, cabut semua izin tambang hasil warisan rezim terdahulu yang berada di zona konservasi. Berpihaklah pada masyarakat adat dan lokal, berdayakan mereka melalui jalur pariwisata yang berkelanjutan. Dan canangkan bahwa ‘ energi hijau’ atau green energy yang merusak alam bukan solusi, tapi lebih sebagai delusi.
Ingatlah, jika hari ini kita diam, besok kita hanya bisa mengenang Raja Ampat lewat layar You Tube yang berjudul “warisan yang kita hancurkan sendiri”. Tidak lagi bisa merasakan surga Raja Ampat dengan snorkeling seperti hari-hari kemarin. (*)
Editor Notonegoro