
PWMU.CO – Empat orang berseragam nampak duduk sambil menahan kantuk di kursi sofa hotel di Kawasan Misfalah, Makkah, Saudi Arabia. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30 Waktu Saudi Arabia. Mereka sesekali menguap lebar secara bergantian, menyandarkan kepala dan pundak di sandaran sofa berbalut beludru warna krem yang terlihat nyaman. Kombinasi fisik yang kelelahan dan sofa empuk memang menjadi alasan yang sempurna untuk mereka tertidur.
Orang-orang berseragam itu adalah para petugas haji 2025 yang tengah menunggu jamaah haji Indonesia yang hendak datang dari Madinah ke Makkah. Saat itu, jamaah haji memang berangkat menuju Makkah karena puncak ibadah haji yang layaknya diistilahkan dengan Armuzna (Arafah, Mina dan Muzdalifah) itu semakin dekat.
Keempat petugas itu sedang menanti kedatangan jamaah haji yang jadwalnya akan datang pada pukul 16.00 waktu Saudi. Namun, hingga lewat tengah malam, belum ada jamaah yang hadir. Lebih dari tujuh jam para petugas haji ini menanti kedatangan jamaah. Pemandangan seperti ini tidak hanya terjadi di satu atau dua hotel pemondokan jamaah haji Indonesia di Makkah. Hampir semua petugas haji mengalami kondisi serupa dalam situasi yang berbeda-beda. Tentu saja, situasi itu bukan karena kesengajaan. Jadwal pemberangkatan bus dari Madinah ke Makkah, telah diatur sedemikian rupa, dengan harapan agar sampai di tempat tujuan tepat waktu, atau jika pun terlambat, tidak terlalu ekstrim.
Namun, kepadatan kendaraan menuju Makkah pada musim haji yang begitu tinggi, menjadikan perjalanan menjadi unpredictable. Keterlambatan kedatangan kendaraan pun menjadi hal yang biasa. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, para petugas semakin terlihat dedikasinya. Wajah-wajah menahan kantuk dan menyiratkan kelelahan itu dengan setia menunggu kehadiran jamaah, meski sesungguhnya jauh di balik wajah lelah itu terpancar tekad ikhlas untuk melayani para tamu Allah.
Seperti pakaian ihram yang melambangkan kesetaraan, demikian pula halnya dengan seragam petugas haji. Para petugas ini sejatinya berasal dari beragam latar belakang—mulai dari PNS, tentara, polisi, aktivis, akademisi bergelar guru besar dan doktor, hingga pengasuh pesantren, kiai, pejabat daerah, bahkan pejabat negara. Namun, mereka semua menjalankan tugas pelayanan tanpa rasa canggung, termasuk dalam bentuk kesetiaan menanti kedatangan jamaah, sebagaimana digambarkan dalam kisah di atas.
Tak sekadar itu, mereka juga harus siap menghadapi aneka situasi yang tak terduga. Karenanya, sebelum menjalani tugas, mereka mendapatkan bimbingan teknis. Meski hanya sebatas petunjuk teknis teoritis pada umumnya saja. Karena apa yang terjadi di lapangan lebih bersifat situasional. Tapi karena ini menjalankan amanah, para petugas haji harus memiliki spontanitas tinggi, insting tajam, atau kemampuan memberi solusi dalam waktu yang sangat terbatas. Singkat kata, petugas haji harus memiliki fungsi multitasking dan harus mau. Karena situasi dan kondisi yang terjadi sangat beragam dan terkadang menyimpang jauh dari materi atau arahan saat bimbingan teknis.
Misalnya yang terjadi pada malam menjelang isya’ itu. Saya yang baru saja mengantar seorang jamaah perempuan asal Sidoarjo yang berbeda hotel dengan hotel suaminya. Belum sempat saya melangkah meninggalkan hotel tersebut menuju hotel tempat saya bertugas, berbagai persoalan dari para jamaah kembali menyerbu para petugas. Di tengah situasi itu, dua perempuan muda menghampiri saya dan menceritakan kondisi seorang perempuan lansia, yang ternyata adalah ibu kandung salah satu dari mereka.
Sang ibu dari kedua perempuan itu sakit, sedangkan pemondokannya terpisah dari sang anak. Kedua perempuan muda itu pun melobi petugas agar mendapatkan izin untuk bisa berkumpul menjadi satu. Dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, akhirnya perempuan lansia itu boleh tinggal bersama anaknya.
Selesai? Ternyata kisah tak berakhir di situ. Karena kondisi fisiknya yang lemah, sang ibu tidak mungkin ke hotel dengan berjalan kaki. Petugas memang mendapatkan fasilitas kendaraan untuk melayani jamaah saat dalam kondisi darurat. Ironisnya, kendaraan tersebut sudah melesat menuju tujuan yang lebih jauh untuk mengantarkan jamaah lain karena salah hotel, tentu lengkap dengan barang bawaan jamaah tersebut.
Karena tidak ada kendaraan petugas, terpaksa harus menggunakan taksi. Namun lagi-lagi problem tidak kunjung terurai. Kedua perempuan muda yang hendak mengajak ibunya berpindah ke hotelnya, ternyata tak memiliki uang Riyal Saudi. Hanya lembaran uang rupiah berwarna merah dan biru yang bersarang di dalamnya.
Spontan saya membuka dan memeriksa isi dompet pribadi. Alhamdulillah, masih ada beberapa lembar uang riyal terselip di dalamnya, termasuk pecahan kecil-kecil. Akhirnya, mata uang rupiah milik perempuan muda itu pun saya tukar dengan riyal saya. Dan, kami pun keluar bersama-sama untuk mencari taksi.
Ternyata masih ada permintaan lain, sebelum kami mendapatkan taksi. Perempuan muda itu meminta agar ada petugas laki-laki yang ikut mendampingi dia dan ibunya menuju hotel. Sangat bisa dimaklumi, ini negara orang. Membiarkan kaum perempuan bepergian tanpa perlindungan dari seorang laki-laki adalah sebuah tindakan nekad dan berisiko. Karena semua petugas saat itu sibuk dengan aneka pekerjaan, saya pun memutuskan untuk menemaninya. Petugas lainnya, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Tunisia dan memiliki kemampuan berbahasa Arab yang sangat baik, saya minta nyegat taksi dan sekaligus nego harga.
Begitulah akhirnya. Saya mengantarkan seorang ibu dan kedua putrinya menuju hotel dengan menumpang taksi yang bertarif 40 riyal atau sekitar 50 ribu rupiah. Taksi hanya berjalan beberapa menit, dan sampailah ke tempat tujuan. Setelah memastikan semua aman, saya pun kembali ke hotel tempat saya berpiket malam itu dengan berjalan kaki.
Tentu masih banyak cerita menarik lainnya. Kisah-kisah sebagai petugas haji ini hanyalah contoh kecil dari makna seragam petugas haji. Ini bukan soal haji tentang kesetaraan dan keharusan menanggalkan atribut apapun yang melekat pada para petugas di tanah air, tetapi juga kesediaan untuk melakukan tugas yang bersifat multitasking. Seorang petugas haji harus mampu menjadi tempat bertanya atas semua persoalan, penerjemah, negosiator, pelayan konsumsi, pengantar, pengawal, bahkan penukar uang. Namun, dalam hal-hal seperti itulah keikhlasan para petugas itu diuji dan dibuktikan. Dan, sofa beludru di sebuah hotel di Mekkah telah menjadi saksi kesetiaan mereka.(*)
Editor Notonegoro