
Oleh: Salman Roihan, Mahasiswa Program Pendidikan Ulama Tarjih UMM
PWMU.CO – Di Indonesia, ibadah haji tidak hanya dimaknai sebagai pemenuhan rukun Islam kelima, tetapi seringkali diasosiasikan dengan status sosial tertentu.
Seseorang yang telah menunaikan ibadah haji lazim dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”, bahkan sering kali menjadi lebih dihormati dan dianggap lebih terhormat dibanding sebelumnya.
Fenomena ini menarik untuk dikaji secara kritis, mengingat bahwa tujuan utama dari ibadah haji dalam Islam bukanlah simbolisme sosial, melainkan pencapaian spiritual yang mendalam yaitu haji mabrur.
Secara bahasa, “mabrur” berasal dari kata al-birr yang berarti kebaikan atau keberkahan. Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah dan membuahkan perubahan positif dalam perilaku dan kehidupan seseorang. Rasulullah SAW bersabda:
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349).
Para ulama menjelaskan bahwa haji yang mabrur ditandai dengan keikhlasan, tidak melakukan rafats (ucapan kotor), fusuq (kemaksiatan), dan jidal (perdebatan tidak perlu), serta meningkatnya amal kebaikan setelah pulang dari Tanah Suci. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Terjemahan Kemenag 2019
197. (Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.58) Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ,59) berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.
- Waktu yang dimaklumi untuk pelaksanaan ibadah haji ialah Syawal, Dzulkaidah, dan 10 malam pertama Dzulhijah.
- Rafaṡ berarti mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seks.
Namun dalam kenyataan, banyak orang justru menjadikan haji sebagai alat legitimasi status sosial. Gelar “Haji” menempel pada identitas resmi, papan nama rumah, bahkan undangan pernikahan.
Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah motivasi ibadah haji telah bergeser dari penghambaan murni kepada Allah menjadi ajang prestise duniawi?
Fenomena haji sebagai simbol status sering terlihat dari perlakuan masyarakat terhadap orang yang sudah berhaji. Tak sedikit pula orang yang merasa “belum lengkap” reputasinya dalam masyarakat sebelum berhaji, terutama bagi tokoh publik atau pejabat. Bahkan ada yang menganggap berhaji sebagai tangga karier sosial.
Fenomena ini semakin menguat dengan berkembangnya budaya konsumtif dan media sosial. Jamaah haji berkompetisi dalam seragam mahal, dokumentasi eksklusif, dan oleh-oleh berlebihan.
Di media sosial, banyak unggahan perjalanan haji yang lebih menyerupai konten lifestyle ketimbang refleksi spiritual. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan tentang bahaya riya dan sum’ah (pamer ibadah):
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ »
“Barangsiapa (beramal) tujuannya untuk didengar (oleh manusia) maka Allah akan memperdengarkan padanya. Dan barangsiapa (beramal) dengan tujuan supaya dilihat (orang) maka Allah akan memperlihatkan padanya”. [HR Bukhari no: 6499. Muslim no: 2987].
Kecenderungan ini mengubah wajah ibadah haji menjadi komoditas religius yang terjebak dalam kapitalisme spiritual: berhaji bukan untuk Allah, tapi untuk dilihat orang lain.
Islam tidak melarang penggunaan gelar “Haji” atau ekspresi bahagia karena telah menunaikan rukun Islam kelima. Namun, Islam sangat menekankan bahwa nilai ibadah tidak terletak pada simbol atau penampilan, tetapi pada perubahan akhlak dan peningkatan ketaqwaan. Karena dalam al-Quran disebutkan bahwasannya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.
Maka, ukuran keberhasilan ibadah haji bukan pada banyaknya orang yang memanggil kita “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”, tetapi pada sejauh mana kita menjadi pribadi yang lebih jujur, amanah, dermawan, dan rendah hati setelah berhaji. Haji mabrur menuntut pembuktian di tengah masyarakat, bukan sekadar pengakuan simbolik.
Untuk meraih derajat haji mabrur di era modern, umat Islam perlu melakukan refleksi mendalam terhadap niat sebelum berhaji. Niat harus diluruskan untuk meraih ridha Allah, bukan gengsi sosial. Setelah berhaji, harus ada perubahan konkret dalam kehidupan sosial dan spiritual: memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Ibadah haji adalah pengalaman spiritual yang luar biasa, namun maknanya bisa rusak jika dibebani ambisi status sosial. Gelar “Haji” bukanlah jaminan kemuliaan jika tidak dibarengi dengan amal dan perubahan sikap.
Mari kita kembalikan makna haji pada hakikatnya, yaitu pengabdian total kepada Allah dan transformasi diri menjadi insan bertakwa. Karena pada akhirnya, hanya haji yang mabrur bukan haji yang populer yang dijanjikan surga oleh Allah SWT.
Penulis merekomendasikan agar setiap calon jamaah haji melakukan muhasabah atau refleksi diri secara mendalam sebelum berangkat ke Tanah Suci, memastikan bahwa niat berhaji semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan demi gengsi sosial atau pengakuan publik.
Pemerintah, lembaga penyelenggara haji, dan tokoh agama juga diharapkan memberikan edukasi spiritual yang lebih menekankan pada makna hakiki dari haji mabrur, bukan sekadar tata cara seremonial.
Selain itu, masyarakat perlu diajak untuk tidak menjadikan gelar “Haji” sebagai simbol status, melainkan mendorong mereka yang telah berhaji untuk menjadi teladan dalam akhlak dan kontribusi sosial.
Upaya bersama ini diharapkan dapat mengembalikan makna ibadah haji sebagai bentuk penghambaan yang tulus kepada Allah SWT dan sarana transformasi moral bagi individu maupun umat.(*)
Editor Zahrah Khairani Karim