
PWMU.CO — Dalam menghadapi derasnya arus digitalisasi dan tantangan zaman yang serba cepat, Ketua Bidang Immawati Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta, Iefone Shiflana Habiba SPd, menegaskan pentingnya budaya membaca di kalangan kader IMM.
Dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis (12/6/2025), perempuan kelahiran Jepara ini mengungkapkan kegelisahannya terhadap minimnya minat baca di kalangan kader muda IMM saat ini.
“Budaya membaca di kalangan kader IMM hari ini hampir seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Masih cukup banyak kader yang tidak memiliki kegemaran membaca, apalagi di tengah derasnya arus digitalisasi,” ujar Iefone.
Ia menekankan, di tengah banjir informasi yang tidak semuanya memiliki landasan valid, para kader dituntut memiliki nalar kritis yang kuat. Budaya membaca, menurutnya, bukan sekadar kebiasaan akademik, tetapi merupakan fondasi utama untuk melawan kedangkalan berpikir dan membangun gerakan yang reflektif serta berorientasi pada perubahan.
Immawati sebagai Penggerak Ruang Literasi Kritis dan Emansipatoris
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Bidang Immawati, Iefone menjelaskan bahwa penguatan budaya literasi tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya strategis yang berbasis pada ruang kultural dan perspektif kritis—dua hal yang menjadi ciri khas gerakan Immawati.
“Bidang Immawati memiliki peran strategis sebagai pemantik. Kami mendorong lahirnya forum baca, kelas menulis, diskusi tematik berbasis buku, hingga literasi berbasis advokasi perempuan. Contohnya, saat ini kami membuka kelas intensif belajar bahasa Inggris, dengan harapan mencetak perempuan IMM yang memiliki daya saing global,” ungkapnya.
Literasi sebagai Jantung Gerakan Keilmuan dan Advokasi
Menurut Iefone, budaya membaca bukan hanya alat bantu dalam belajar, tetapi menjadi jantung dari gerakan keilmuan dan advokasi yang diusung IMM.
“Tanpa bacaan yang sehat dan kritis, narasi advokasi akan kehilangan kedalaman dan terjebak dalam slogan kosong. IMM bukan hanya organisasi intelektual, tapi juga gerakan kemasyarakatan yang harus berpijak pada ilmu dan refleksi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa IMM sebagai gerakan Islam berkemajuan harus mampu menyelaraskan antara ilmu dan aksi. Membaca menjadi jalan awal untuk membuka cakrawala berpikir, memperkuat daya juang, dan merespons realitas sosial secara proporsional.
DPD IMM DIY, telah merancang berbagai langkah konkret untuk menumbuhkan dan memperluas semangat literasi. Beberapa program yang telah berjalan antara lain optimalisasi pusat-pusat studi seperti Pusat Studi Mernissi, Pusat Studi Agama, Pusat Studi Sosial, dan Pusat Studi Anti Korupsi.
“Pusat Studi Mernissi, misalnya, menjadi wadah pengembangan literasi perempuan yang berlandaskan nilai-nilai emansipatoris. Dari ruang ini, lahir Mernissi Magazine, majalah yang mendorong ekspresi intelektual dan membangun tradisi literasi berbasis keadilan gender,” papar Iefone.
Selain itu, DPD IMM DIY juga menjalankan Empower Class of Immawati, forum belajar yang kini berkembang menjadi ruang dialektika berbasis gender, dan menerbitkan Kertas Posisi sebagai himpunan tulisan kader IMM yang membahas isu-isu strategis dan aktual.
Ke depan, DPD IMM DIY tengah mempersiapkan penerbitan Jurnal Pemikiran sebagai langkah lanjut memperkuat gerakan literasi IMM di tingkat nasional.
“Karena bagi kami, membaca bukan hanya kegiatan individual, tetapi jalan kolektif untuk membangun peradaban yang tercerahkan,” pungkasnya. (*)
Penulis Fathan Faris Saputro Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun