
PWMU.CO – Sering kita lantang bicara soal moralitas masyarakat. berteriak lantang tentang arah bangsa, rusaknya generasi, dan lunturnya nilai. Tapi saat berhadapan dengan diri sendiri, kita justru seringkali bungkam. Seolah kaca cermin yang itu retak itu tak perlu dilihat. Padahal, perjuangan yang sesungguhnya adalah bermula dari keberanian menata diri sebelum sibuk menunjuk orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita begitu cepat menilai — hasil pekerjaan — orang lain. Menyimpulkan kesalahan orang, menghakimi pilihan hidup mereka, bahkan menganggap diri paling benar dalam bingkai moral kolektif. Kita menuding tanpa bercermin, mengukur dengan standar yang tak kita pakai sendiri. Padahal, Al-Qur’an dan Sunnah telah memberi peringatan keras tentang penyakit hipokrisi dengan bungkus narasi keadilan.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Aṣ-Ṣaff: 2-3)
Ayat ini tidak sekadar mengkritik, tetapi juga mengecam keras terhadap perilaku hiporkrit “berkata tanpa laku”, menyeru tanpa menata. Kita mengajak pada kebaikan, tapi lupa membersihkan debu keburukan dalam rumah jiwa kita sendiri.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ فِي الرَّحَا، فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ، مَا لَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ، وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَآتِيهِ
“Akan didatangkan seseorang pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya terburai dan ia berputar-putar di neraka seperti keledai yang berputar di batu penggiling. Penghuni neraka berkumpul dan bertanya: ‘Wahai Fulan, bukankah dulu kau menyuruh kami berbuat baik dan melarang kami dari kemungkaran?’ Ia menjawab: ‘Benar, aku menyuruh kalian berbuat baik, tapi aku tidak melakukannya. Dan aku melarang kalian berbuat mungkar, tapi aku melakukannya.'” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Betapa mengerikannya kondisi seseorang yang di dunia tampak lantang menyeru pada kebenaran, tapi dirinya sendiri tak pernah bersungguh-sungguh berbenah diri. Dakwah yang paling mengakar itu bukan dari lisan, tapi dari keteladanan. Dan teladan itu tak bisa lahir dari jiwa yang malas merapikan kehidupannya.
Kita sering bicara perjuangan. Tentang umat yang tertindas, tentang negeri yang perlu perubahan, tentang moral kolektif yang merosot. Tapi semua itu akan hampa jika kita sendiri hidup tanpa arah. Kita menyeru pada nilai, sedangkan kompas hidup kita sendiri rusak. Kita menyeru bangkit, padahal diri sendiri tertidur dalam zona nyaman.
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil dalam jiwa masing-masing. Revolusi sosial bukan dimulai dari mimbar orasi, tapi dari ruang sunyi tempat kita jujur menilai diri sendiri.
Perjuangan bukan sekadar tentang langkah besar, tapi tentang upaya konsisten memperbaiki lembar demi lembar kehidupan kita. Merapikan niat, membersihkan hati dari iri, menata waktu dari sia-sia, dan menyisihkan kesombongan yang mengira diri paling benar.
Dunia belum berakhir. Kita pun belum selesai dengan diri kita sendiri. Setiap hari adalah ladang muhasabah. Setiap malam adalah panggung sepi untuk berdialog dengan hati. Bertanya, “Apa aku benar-benar jujur pada Allah? Ataukah selama ini aku hanya mempermainkan kata-kata baik?”
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang cerdas adalah yang mampu mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang bodoh adalah yang mengikuti hawa nafsunya namun berangan-angan terhadap Allah.” (HR. Tirmiżī no. 2459)
Jadi, sebelum bicara banyak tentang orang lain, mari jujur dulu kepada diri sendiri. Kita ini sedang berjalan ke mana? Benarkah kita melangkah karena Allah, atau karena ego yang ingin dianggap mulia?
Jika hidup masih berantakan, jangan buru-buru mengatur kehidupan orang lain. Jika hati masih kotor, jangan terburu-buru membersihkan citra di depan manusia. Dunia memang belum selesai. Tapi lembar hidup kita juga belum kita benahi. Maka jangan hanya sibuk membenahi dunia, lalu lupa dunia siapa yang sebenarnya perlu dibersihkan lebih dahulu: dunia luar atau dunia dalam dada kita.(*)
Editor Notonegoro