
PWMU.CO – Di era digital ini, media sosial (medsos) menjelma menjadi panggung utama ekspresi dan eksistensi diri. Banyak individu yang menggunakan platform di medsos dengan memamerkan gaya hidup mewah, barang-barang bermerek, liburan mahal, hingga pencapaian pribadi dengan kemasan estetika visual nan memukau. Fenomena ini diistilahkan flexing, yaitu menampilkan kekayaan atau keberhasilan secara berlebihan demi mendapat pengakuan sosial.
Namun dibalik itu, terasa ada kegelisahan spiritual dan krisis identitas yang luput dari perhatian. Pertanyaannya, bagaimana Islam memberikan respon terhadap budaya pamer yang kini dianggap biasa bahkan dirayakan?
Beban jiwa
Flexing kerap kali lahir dari hasrat untuk mendapatkan validasi sosial. Seseorang yang menjadi korban flexing ini merasa eksistensinya diakui manakala sudah unjuk atau pamer, misalnya tentang tas pribadinya yang berharga jutaan rupiah atau mobil pribadi keluaran terbaru. Mereka ini tengah menanamkan harga dirinya pada penilaian manusia, bukan pada nilai hakiki di hadapan Allah.
Islam mengingatkan bahwa dunia bukan tempat untuk berbangga-bangga, apalagi menyaingi orang lain dalam hal duniawi. Allah berfirman:
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kalian serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini seolah menjadi cermin bagi kita yang mungkin terjebak dalam ilusi media sosial, kehidupan yang dikurasi dan ditampilkan semata-mata demi pujian semu. Sementara dalam pandangan Islam, kemuliaan seseorang tidak diukur dari tampilan luar, melainkan dari ketaqwaannya:
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۚ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Penyakit flexing berkamuflase
Flexing sering kali tidak murni sebagai ekspresi kebahagiaan, tetapi sebagai bentuk riya’ yang terbungkus rapi. Riya’ berarti melakukan sesuatu agar dilihat manusia, bukan karena Allah. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Riya!.” (HR. Ahmad)
Ironisnya, dalam balutan estetika dan caption “sekadar berbagi inspirasi”, terselip niat untuk dipuji, dikagumi, bahkan ditiru. Padahal, amal yang dilakukan karena manusia, tidak akan mendapatkan ganjaran di sisi Allah.
Tak sedikit yang hidupnya biasa-biasa saja, namun di media sosial tampak seolah-olah bangsawan digital. Misalnya mengklaim mobil sewaan (rental) atau pinjaman sebagai milik sendiri.. Ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Saw:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang berpura-pura memiliki sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, ia seperti orang yang mengenakan dua pakaian kedustaan.” (HR. Bukhari)
Melakukan flexing berlandas kepalsuan adalah bentuk penipuan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dunia maya pun tidak lebih sebagai panggung sandiwara. Sedang realitas hidupnya terus terhantui oleh ketidakpuasan dan kecemasan sosial.
Mengapa tidak hidup sederhana saja?
Islam tidak melarang seseorang untuk memiliki kekayaan. Islam hanya mengecam pada sikap yang berlebihan dan menyombongkan diri. Rasulullah Saw sebagai suri teladan dalam kesederhanaan, padahal jika beliau mau, dunia bisa digenggamnya. Dalam satu hadis dikisahkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَنَامُ عَلَى حَصِيرٍ، فَقَامَ حَصِيرٌ فِي جَنْبِهِ، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Rasulullah Saw tidur di atas tikar hingga tikar itu membekas di badan beliau. Lalu dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami membuatkan alas tidur untukmu?’ Maka beliau bersabda, ‘Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.’” (HR. Tirmidzi, no. 2377)
Sebagian orang berdalih bahwa flexing adalah bentuk syukur karena telah diberi rezeki. Mereka mengutip ayat:
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya.” (QS. Ad-Duhaa: 11)
Padahal ulama tafsir seperti Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir fi Tafsir al-Qur’an al-Karīm dengan mengutip perkataan Ibnul Aroby terkait ayat tersebut menuliskan:
إِنَّ ٱلتَّحَدُّثَ بِٱلْعَمَلِ يَكُونُ بِإِخْلَاصٍ مِّنَ ٱلنِّيَّةِ عِندَ أَهْلِ ٱلثِّقَةِ، فَإِنَّهُ رُبَّمَا يَخْرُجُ إِلَى ٱلرِّيَاءِ وَإِسَاءَةِ ٱلظَّنِّ بِصَاحِبِهِ
“Sesungguhnya membicarakan amal (kebaikan) itu harus disertai dengan keikhlasan niat di hadapan orang-orang yang dapat dipercaya, karena bisa jadi hal itu justru berubah menjadi riya’ dan menimbulkan prasangka buruk terhadap pelakunya”
Sehingga syukur tidak terwujud dengan unjuk pamer, tetapi dengan merendahkan hati dan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada Allah dan bermanfaat bagi orang lain. Maka menyebut nikmat Allah adalah dengan ucapan yang mengandung rasa syukur dan bukan dengan kesombongan.
Fenomena flexing di media sosial pada akhirnya bukan sekadar masalah gaya hidup, tapi soal value dan jati diri. Islam mengajarkan bahwa kehormatan sejati terletak pada integritas hati, bukan pada likes, followers, atau koleksi barang mewah.
Jika ingin menampilkan sesuatu, tampilkan akhlak. Jika ingin dipuji, pastikan pujian itu datang dari langit. Dan jika ingin dikenang, biarlah amal yang menulis namamu, bukan algoritma media sosial.
فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِ
“Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, maka ia tetap tinggal di bumi.” (QS. Ar-Ra’d: 17)***
Editor Notonegoro