
PWMU.CO – Dalam rangka memperingati Milad ke-108, Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Cakru Jember menggelar sosialisasi pencegahan pernikahan dini pada Sabtu (14/6/2025), bertempat di SMK Muhammadiyah 5 Jember.
Kegiatan ini diikuti oleh para wali murid, guru dari SMP Muhammadiyah 8 Cakru dan SMK Muhammadiyah 5 Jember, serta Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) se-Cabang Cakru.
Sosialisasi ini bertujuan memperkuat peran orang tua dalam mencegah praktik perkawinan anak yang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sebagai pemateri utama, hadir Sita Delilah Susanti SSosI, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Jember.
Dalam paparannya, Sita menekankan pentingnya memahami definisi pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satunya yang masih berusia di bawah 19 tahun.
“Secara mental, psikis, dan materi, anak di usia tersebut belum siap menanggung beban rumah tangga,” ujarnya.
UU dan Fakta Global: Indonesia Peringkat 4 Dunia
Sita juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun. Ia mengungkapkan data UNICEF tahun 2023 yang menempatkan Indonesia sebagai negara keempat di dunia dengan jumlah pernikahan anak tertinggi (sekitar 25,53 juta anak perempuan telah menikah). Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus tertinggi di kawasan ASEAN.
Berbagai Faktor dan Dampak Serius
Sita menyebutkan berbagai penyebab pernikahan dini seperti faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, paksaan orang tua, adat istiadat, pengaruh media sosial, hingga kehamilan di luar nikah (married by accident).
Dampak negatif dari pernikahan dini, di antaranya:
- Pendidikan: Anak kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi.
- Kesehatan: Risiko tinggi bagi ibu dan anak, seperti stunting dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
- Ekonomi: Rentan menjadi beban keluarga dan meningkatkan risiko KDRT.
- Psikologis dan Sosial: Rasa minder, depresi, dan sulit bergaul di masyarakat.
- Keharmonisan Rumah Tangga: Berujung pada tingginya angka perceraian.
“Batas usia 19 tahun bukan tanpa alasan. Itu usia di mana seseorang dinilai telah matang secara fisik dan mental, serta siap menghadapi dinamika rumah tangga,” jelasnya.
Perspektif Islam: Menikah Saat Sudah “Rusydan”
Sita juga memaparkan bahwa dalam pandangan Islam, kesiapan menikah tidak hanya dilihat dari usia, tapi juga dari aspek kematangan akal dan spiritual. Ia mengutip QS. An-Nisa ayat 6, yang menggarisbawahi pentingnya “Rusydan” atau kematangan dalam berpikir, berilmu, dan mampu mengelola tanggung jawab.
Menurutnya, membangun keluarga sakinah tak cukup hanya dengan cinta, tetapi perlu persiapan yang matang dari segala aspek; biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi.
Di akhir sesi, para peserta diajak untuk berkomitmen menjadi orang tua yang cerdas dan bijak dalam mendampingi anak. Edukasi dini melalui smart parenting, penanaman nilai agama dan akhlak, serta menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan anak menjadi poin penting dalam pencegahan pernikahan dini.
“Orang tua harus mampu menjadi sahabat anak, membimbing mereka menemukan bakat dan minat, serta mengarahkan ke lingkungan yang positif,” tutupnya.
Kegiatan ini mendapat sambutan antusias dari peserta yang berharap kegiatan serupa dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Penulis Bambang Adam Malik Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun